Ngaji Sastra di Pojok Gus Dur

Jakarta, NU Online
Peristiwa apa pun, termasuk yang sepele, bisa menjadi karya yang bernas dan indah. Hal itu tergantung kesiapan pengarang dalam menangkap, mengolah, menuangkan peristiwa itu dalam berbagai cara berkarya.

Hal itu diungkapkan zawawi Imron, penyair sepuh yang penulis puisi “Nenek Moyangku Air Mata” dalam “obrol santai” Komunias Sastra di Pojok Gus Dur, lantai dasar gedung PBNU, Jakarta, pada Selasa malam (1/11).

“Peristiwa malam ini, sebenarnya bisa jadi sebuah cerpen yang indah, tergantung kesiapan imagi dan bahasa kita. Jadi, peristiwa sepele macam apa pun, itu bisa menjadi puisi, bisa ditulis menjadi cerpen. Asalkan, ‘saksi’ (pengarang, red.) mampu mengolah menjadi sebuah karya kreatif. Baik itu cerpen, puisi atau mungkin juga drama,” urai Zawawi, penerima anugrah sastra dari Mastera tahun lalu atas karyanya antologi puisi “Kelenjar Laut”.

Kemudian, antologi itu mendapat penghargaan  pula dari Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Zawawi mencontohkan, Sapardi Djoko Damono yang menulis puisi tentang hal-hal sepele, mislanya burung jalak, pohon jambu di pagi hari. Tapi kemudian diolah bukan hanya sebagai peristiwa; melainkan dengan imaginasi, dengan pengalaman batiniyahnya, sehingga jadi sajian yang menarik dan matang. Begitu juga beberapa karya W. S. Rendra salah satunya berjudul “Episode”.

“Jadi, kalau seorang pengarang itu melihat punggung tangan, matanya harus jeli, hatinya nyalang menangkap apa yang ada di balik tangan. Terlepas benar atau salah karena memang peristiwa kepengarangan itu adalah peristiwa imajinasi,” ungkap penyair, pelukis yang lebih senang disebut pemakan garam dari Madura ini.
“Peristiwa remeh yang diolah dengan kematangan jiwa akan menarik,” simpulnya, “dengan demikian, yang diperlukan bagi seorang pengarang adalah kejelian mata memandang dan kesiapan hati menangkap di balik apa yang dia lihat.”

Selain itu, Zawawi menganjurkan Komunitas Sastra yang digawangi penulis novel “Lelaki Laut”, Alamsyah M. Djafar, ini supaya menimba “tenaga dalam” dari pengarang lain. Artinya, membaca karya pengarang-pengarang lain. Zawawi pun bercerita tentang sahabatnya, Ahmad Tohari. Ternyata, penulis “Ronggeng Dukuh Paruk” itu menggemari karya  John Steinbeck berjudul “Tortilla Flat”.
“Tapi, setelah saya bandingkan, beda sekali antara “Tortilla Flat” dan “Ronggeng Dukuh Paruk”. Jadi, karya orang lain hanyalah sebagai pemacu ilham, pemantik untuk menemukan karya diri sendiri,” tambah salah seorang pemain film “Mestakung” ini.
Kemudian  Zawawi bercerita tentang proses kreatif W. S. Rendra, Ayip Rosyidi, Gus Mus, Sutardji Calzoum Bachri, Ahmad Tohari, termasuk dirinya sendiri. Pria kelahiran 1945 ini tidak hanya sebagai penyair, tapi juga pemerhati karya-karya sahabatnya. Pun tidak hanya pengarang dalam negeri, melainkan akrab karya Muhammad Iqbal, Mustafa Lutfi Al Manfaluti. Bahkan syair-syair dalam kitab-kitab kuning.
Obrol sastra yang dihadiri 20 peserta ini dilanjutkan dengan membedah dua cerpen karya Ufi Ulfiyah berjudul “Jessica” dan dan “Sumberbanyu”. Pada pertemuan sebelumnya membedah karya-karya Alamsyah M. Djafar dan Dhea Dahlia.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Ngaji Sastra di Pojok Gus Dur"

Post a Comment