Tidak benar orang yang mengatakan bahwa fatwa itu tiang syari’at dan tidak dapat diketahui kebenarannya melainkan dengan ilmu khilafiyah.Perdebatan disamping tidak ada faedahnya, orang yang membiasakan diri dengan memperdebatkan perbedaan-perbedaan tidak akan dapat melahirkan ilmu fiqih yang baru, hanya berkutat pada masalah yang itu-itu saja. Mereka hanya mencari ketenaran dengan dalih ingin mendalami perbedaan madzhab.
Ringkasnya, menurut Imam Ghozali, hendaknya seseorang merenungkan kedudukan dirinya disisi Allah, dan yang akan dihadapinya, yakni kematian, kebangkitan, hisab, surga dan neraka.
Sebab-sebab Manusia Suka kepada Masalah Khilafiyah
Jabatan khalifah sesudah Nabi Muhammad SAW dipegang oleh khulafa’ rasyidin yaitu : Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Mereka adalah imam, ahli ilmu dan paham segala hukum Allah. Sanggup mengeluarkan fatwa dan menyelesaikan segala peristiwa hukum. Tanpa meminta bantuan ahli-ahli hukum Islam (fuqaha’). Walaupun ada, itu hanya peristiwa-peristiwa yang harus dimusyawarahkan.
Oleh karena itu, pada saat itu para alim ulama dapat menghadapkan perhatian dan segala kesungguhannya kepada ilmu akhirat. Menolak mengeluarkan fatwa dan segala yang berhubungan dengan hukum duniawi. Mereka menghadapkan diri dengan kesungguhan yang maksimal kepada Allah SWT.
Setelah jabatan khalifah jatuh ke tangan golongan-golongan sesudah khulafa’ rasyidin. Orang yang mengendalikan pemerintahan bukan orang sanggup dan mempunyai ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum. Oleh karena itu, maka terpaksa pemimpin tersebut meminta tolong kepada para fuqaha’ dan mengikut-sertakan mereka dalam segala hal untuk meminta fatwa waktu menjalankan hukum. Pada masalah itu, masih ada juga diantara para ulama tabi’in, yang tetap berpegang teguh kepada tradisi agama, tidak melepaskan ciri-ciri ulama salaf (ulama terdahulu).
Maka tampaklah dikalangan masyarakat umum kebesaran ulama dan perhatian pemerintah kepada ulama’. Sedang dari pihak alim ulama itu sendiri, menolak dan menjauhkan diri dari urusan kenegaraan. Lalu masyarakat umum tampil menuntut ilmu pengetahuan, ingin memperoleh kemudahan dan kemegahan, mereka mempelajari ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum. Kemudian datang memperkenalkan diri kepada pemerintah dan meminta kedudukan dan jabatan.
Mulailah orang-orang memperhatikan ilmu fatwa dan hukum, karena sangat diperlukan di daerah-daerah atau di pusat pemerintahan. Maka timbullah kegemaran bertukar-pikiran dan berdebat dalam ilmu kalam. Mereka menyatakan bahwa tujuannya untuk mempertahankan agama Allah dan Sunnah Nabi SAW serta membasmi bid’ah.
Sesudah itu muncul lagi, orang-orang yang tertarik kepada bertukar-pikiran tentang fiqih dan khusus memperbandingkan mana yang lebih utama diantara madzhab Syafi’i dan madzhab Abu Hanifah. Mereka menyatakan bahwa maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam, menetapkan alasan-alasan madzhab.
Syarat-syarat Musyawarah dalam Masalah Ilmu
Secara sekilas kita melihat, bahwa kata perdebatan, musyawarah dan berunding merupakan kata-kata sinonim, akan tetapi di dalamnya terkandung perbedaan makna. Dari segi makna perdebatan adalah pembahasan dan pertukaran pendapat tentang suatu masalah, serta memberi argumentasi untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Sedangkan musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai putusan atas penyelesaian suatu masalah. Kemudian berunding adalah membahas suatu masalah untuk memperoleh persetujuan atau mufakat. Memaknai dari segi bahasa inilah terkadang orang menyalah pahami tentang berdebat masalah ilmu, untuk memperoleh kebenaran.
Pada dasarnya saling membantu untuk mengungkapkan kebenaran merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam agama Islam. Kebiasaan ini pernah dialami para sahabat. Mereka bermusyawarah untuk mengungkap kebenaran suatu hukum, di antaranya permasalahan warisan yang ahli warisnya kakek dan saudara dan tentang masalah hukuman orang yang minum khamar. Demikian juga terjadi pada ulama-ulama salaf dan fukaha seperti Asy-Syafi’i, Ahmad, Muhammad bin Al-Hasan, Malik, Abu Yusuf, mereka bermusyawarah dan berunding pada permasalahan-permasalahan yang mereka terima.
Dalam hal ini, akan dikemukakan beberapa syarat musyawarah dan berunding untuk memperoleh kebenaran, yaitu:
Jangan sibuk membahas dan mencari kebenaran dalam masalah hukum fardhu kifayah sebelum menyelesaikan pembahasan mengenai fardhu ‘ain. Seseorang yang mendahulukan fardhu kifayah sebelum menyelesaikan fardhu ‘ain, walaupun niatnya baik dan benar merupakan kebohongan. Misalnya dalam permasalahan seseorang yang meninggalkan shalat dengan alasan untuk menyediakan dan menjahit pakaian orang yang shalat dalam keadaan telanjang.
Tidak lebih mementingkan berdebat atau menuntut ilmu yang fardhu kifayah daripada permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat. Misalnya orang yang mendahulukan mempelajari ilmu bekam padahal di sekelilingnya ada orang yang kehausan dan hampir binasa, dan ia dapat membantunya. Atau misal yang lain, orang yang lebih memilih berdebat masalah ilmu daripada mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.
Bahwa orang yang berdebat itu adalah mujtahid yang berfatwa dengan fatwanya sendiri, bukan dengan madzhab Syafi’i atau Abu Hanifah atau lainnya. Sehingga apabila ditemukan kebenaran dalam suatu madzhab, seperti terdapat dalam madzhab Abu Hanifah, maka ia meninggalkan pendapat yang berasal dari Syafi’i, dan berfatwa dengan kebenaran itu. Seperti yang dilakukan para sahabat dan para ulama terdahulu. Adapun orang yang belum sampai dalam tingkat ijtihad seperti saat ini, maka berfatwalah dia dalam persoalan yang ditanyakan kepadanya menurut madzhab yang dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh ditinggalkannya.
Bahwa yang diperdebatkan itu persoalan yang sedang terjadi atau yang akan terjadi dalam masa dekat. Karena para sahabat ra. tidak mengadakan musyawarah selain dalam persoalan terjadi atau biasanya terjadi, misal persoalan warisan (faraidh).
Bahwa perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi, tidak di tengah-tengah orang banyak dan di hadapan para pembesar dan penguasa. Disebabkan pada tempat yang sepi, pikiran dapat fokus dan lebih banyak memperoleh kejernihan hati, pikiran dan kebenaran. Apabila dilaksanakan di depan umum, dapat menggerakkan riya’, dan mendorong masing-masing pihak untuk menjadi pemenang.
Bahwa dalam mencari kebenaran itu, seperti orang mencari barang yang hilang. Tidak ada perbedaan antara yang ditemukan sendiri atau ditemukan orang lain yang menolongnya. Dalam masalah ilmu harus dianggap bahwa teman berdebat itu merupakan penolong, bukan musuh. Diucapkan terima kasih, ketika diberitahukan kesalahan dan dilahirkannya kebenaran.
Jangan melarang teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke dalil lain dan dari satu persoalan ke persoalan lain. Pada dasarnya, kembali kepada kebenaran adalah dengan merubah kesalahan yang terjadi Bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang berilmu dan dapat memberi manfaat kepada orang lain, seperti dengan orang yang sedang menuntut ilmu.
Bahaya Berdebat Dalam Masalah Khilafiyah
Perdebatan yang bertujuan untuk mencari kemenangan, menundukkan lawan, memperoleh kelebihan dan kemuliaan diri, berargumen pada khalayak ramai, ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik perhatian orang, adalah sumber segala akhlak yang tercela menurut Allah dan terpuji dalam pandangan Iblis dan berhubungan dengan sifat-sifat kekejian batin.
Orang yang didesak oleh keinginan menjatuhkan orang lain, memperoleh kemenangan dalam perdebatan, kemegahan dan keangkuhan, mengajaknya kepada bermacam-macam sifat keji yang tersembunyi dalam jiwanya. Sehingga semua akhlak buruk terpatri dalam sanubarinya.
Semua perbuatan tersebut akan diterangkan beserta dalil-dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan tercelanya. Semua sifat jahat yang ditimbulkan oleh perdebatan (munadharah), di antaranya: Pertama, dengki. Sebagaimana sabda Nabi SAW yang berbunyi:
الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب
Dengki itu menghapus kebaikan seperti api memakan kayu kering.
Seorang pendebat tidak terlepas dari sifat dengki, karena dia bisa sekali menang dan pada saat yang lain kalah. Maka pada saat ia kalah, ia mengharap nikmat itu hilang serta berpindah kepadanya.
Kedua, takabbur dan ingin lebih unggul dari orang lain. Nabi Muhammad saw. bersabda:
من تكبر وضعه الله ومن تواضع رفعه الله
Barang siapa takabbur, niscaya direndahkan oleh Allah dan barang siapa merendahkan diri, niscaya ditinggikan oleh Allah
Orang yang berdebat akan selalu sombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang lain. Sehingga mereka bersilat lidah dalam majelis perdebatan, berlomba-lomba untuk merendahkan dan menjauhkan diri dari ranah pembahasan.
Ketiga, dendam. Hampir semua orang yang suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam. Nabi Muhammad saw. pernah bersabda : “Orang mu’min tidaklah pendendam”. Seseorang yang melakukan perdebatan, maka dia tidak sanggup membersihkan jiwanya dari sifat pendendam, bahkan terhadap lawan bicara yang berargumentasi secara baik, sedangkan terhadap keterangannya sendiri dipandang bermutu.
Keempat, mengumpat. Sifat mengumpat itu diserupakan oleh Allah swt. dengan memakan bangkai. Orang yang berdebat itu diibaratkan seperti seorang memakan bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari membicarakan lawan dan mencacinya. Disertai dengan dusta yaitu merekayasa sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Kelima, menganggap dirinya suci. Allah swt. Berfirman dalam Surat An-Najm : 32, yang artinya:
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.
Seorang pendebat biasa memuji dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari teman-temannya. Dia selalu mengatakan hal-hal yang memuji diri sendiri. Tujuan utama untuk memuji dirinya dan agar kata-katanya terkenal. Perlu diketahui bahwa memuji diri sendiri, baik ada ataupun tidak ada yang disebutkan itu, merupakan perbuatan tercela dalam agama dan akal pikiran yang sehat.
Keenam, mengintip dan selalu mengikuti keadaan orang lain. Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَجَسَّسُوا
“Janganlah kamu mengintip-ngintip (memata-matai)”.(QS. Al-Hujurat: 12).
Seorang pendebat selalu mencari kesalahan teman dan kekurangan Iawannya. Sehingga bila datang seorang pendebat lain ke tempatnya, lalu dia mencari seseorang yang dapat menerangkan rahasia hidup pendebat tersebut. Dia bertanya tentang keburukan-keburukannya untuk menjadi bahan yang akan disiarkan dan ditunjukkan nanti apabila keadaan memerlukan.
Ketujuh, perasaan bahagia atas kesusahan lawan dan perasaan susah atas kebahagiaan lawan. Orang yang tidak suka kepada saudaranya muslim maka dia sudah jauh dari akhlak seorang mukmin. Setiap orang yang mencari kemegahan dengan mengemukakan kelebihannya, maka sangat menyenangi kesusahan lawan yang menjadi saingannya.
Kedelapan, nifaq yakni sifat yang dimiliki oleh orang munafik, yang berbeda antara hati dan lisannya. Nabi Muhammad saw. bersabda:
إِذَا تَعَلَّمَ النَّاسُ الْعِلْمَ وَتَرَكُوْا الْعَمَلَ وَتَحَابُوْا بِالْأَلْسُنِ وَتَبَاغَضُوْا بِالْقُلُوْبِ وَتَقَاطَعُوْا فِي الْأَرْحَامِ لَعَنَهُمُ اللهُ عِنْدَ ذلِكَ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Apabila manusia mempelajari ilmu dan meninggalkan amal, berkasih-kasihan dengan lisan dan bermarah-marahan dengan hati, serta berputus-putusan silatur-rahmi, maka kenalah kutukan Allah ketika itu. Ditulikan telinganya dan dibutakan matanya”.[1]
Kesembilan, sombong dan menolak kebenaran. Seseorang yang sedang berdebat akan sulit mengakui kebenaran dari yang disampaikan oleh lawan debatnya, walaupun kebenaran itu sudah jelas dan terang ibarat matahari di siang hari. Hal ini menjadikan seorang pendebat akan terbiasa menyangkal kebenaran dan setiap perkataan lawan akan dibantahnya, bahkan dalil-dalil agama pun bila hal tersebut keluar dari lawannya juga akan dibantahnya. Sehingga dalil-dalil agama pun bisa berantakan di tangan para pendebat.
Karena itulah berdebat harus dilakukan dengan hati-hati, apalagi bila melawan yang batil. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. bersabda:
مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ وَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang batil, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam perkampungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam sorga tinggi”.[2]
Kesepuluh, riya’ atau ingin memperlihatkan amalannya kepada orang banyak dan berusaha menarik hati serta pandangan. Seorang pendebat pasti memiliki sebersit keinginan untuk menonjolkan dirinya agar dipuji oleh orang lain.
Itulah sepuluh perkara yang menjadi induk kejahatan batin, orang-orang yang biasa berdebat tidak akan lepas dari sepuluh perkara tersebut. Di samping itu juga terdapat madharat yang mungkin timbul dari orang-orang di sekitar pendebat, seperti permusuhan dan perkelahian.
Sepuluh perkara yang termasuk sifat-sifat rendah tadi terkadang juga ada pada orang yang biasanya memberi nasehat atau fatwa, namun tujuannya untuk pamrih, bermegahan, mendapat kekayaan dan kemuliaan. Juga ada pada orang-orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap pahala Allah, sehingga ilmu yang ada padanya akan sia-sia bahkan menghinakan dirinya.
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَا يَنْفَعُهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
“Manusia yang paling menderita pada hari kiamat adalah orang yang berilmu tetapi ilmunya tidak bermanfaat”.[3]
Ilmu ibarat pisau bermata dua, seperti halnya kekayaan, bila tidak mendatangkan kemuliaan pastilah mendatangkan kehinaan. Mungkin akan ada pendapat yang menyebutkan bahwa perdebatan memiliki manfaat, yakni supaya seseorang mau belajar lebih banyak lagi. Pendapat ini menurut Imam Ghazali benar dari satu segi, namun tidak memiliki faedah. Ibaratnya seperti anak kecil yang tidak akan berangkat ke sekolah bila tidak dijanjikan sebuah hadiah. Hal yang demikian ini tidak menunjukkan kecenderungan yang bagus, karena ketika seseorang berpendapat seperti itu tadi tidak memiliki keinginan berdebat maka semangat belajar pun ikut hilang.
Dan Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِأَقْوَامٍ لَا خَلاَقَ لَهُمْ
“Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum (orang-orang) yang tak berbudi”.[4]
Dan pada sabdanya yang lain disebutkan:
إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
“Sesungguhnya Allah akan menguatkan Agama ini dengan orang zalim”.[5]
Hadits ini menyebutkan bahwa seseorang yang dari luarnya dipandang oleh orang lain sebagai ulama, namun di dalam dirinya tersembunyi niat untuk mencari kemegahan. Orang-orang yang seperti ini menurut Imam Ghazali ibarat lilin yang membakar dirinya sendiri, menunjukkan kebaikan kepada orang lain tetapi dengan mengorbankan dirinya.
Dalam hal ini Imam Ghazali membagi ulama menjadi tiga macam, yang pertama, adalah ulama yang membinasakan dirinya sendiri sekaligus juga membinasakan orang lain. Ulama pertama ini secara terang-terangan menunjukkan kecenderungannya pada hal-hal duniawi. Ulama yang kedua adalah ulama yang membahagiakan dirinya sendiri sekaligus membahagiakan orang lain, yakni ulama yang sungguh-sungguh ikhlas bertujuan hanya mencari keridhoan Allah semata. Ulama yang ketiga yang diibaratkan seperti lilin itu tadi, yakni seseorang yang secara lahirnya mengajak manusia ke jalan akhirat, bahkan dirinya sendiri juga menjauhi hal-hal duniawi. Namun hal tersebut hanyalah kepura-puraan karena dalam hatinya tersimpan keinginan untuk memiliki pengaruh dan berbangga diri.
Padahal Allah hanya akan menerima ilmu dan amal yang ikhlas dilakukan semata hanya untuk memperoleh keridhaan Allah, dan tidak akan menerima ilmu serta amal dari orang tidak ikhlas melakukannya.
[1] Diriwayatkan oleh al Thabrani dari Salman dengan sanad dha’if.
[2] Diriwayatkan oleh al Tarmidzi dari ibn Majah dari Anas.
[3] Diriwayatkan oleh al Thabrani dan al Baihaqi dari Abu Hurairah dengan sanad dha’if.
[4] Diriwayatkan oleh al Nasa’i dari Anas dangan sanad shahih.
[5] Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Sumber: Warkop Mbah Lalar
Belum ada tanggapan untuk "Imam Ghazali dan Masalah Khilafiyah"
Post a Comment