Jakarta, NU Online
Sastra sangat berpengaruh dan dapat membentuk kepribadian seseorang. Pengaruh itu bisa ditunjukkan dengan kepekaan, empati yang tinggi terhadap orang lain, dan mencintai alam semesta.
Demikian disampaikan Sastrawan asal Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor. Selain itu, sastra akan mengajarkan seseorang kepada proses. “Sastra itu kan proses, bukan hasil akhir. Sebelum makna! Yang mempengaruhi terhadap kepribadian itu, disamping berisi petuah-petuah, juga proses bahasa dan keindahannya,” katanya kepada NU Online di Jakarta, Rabu (18/4)
Menurut budayawan Sunda yang mendapat anugerah Rancage tahun 2012 ini, hilangnya kepribadian para politikus sekarang, disebabkan mereka sudah tidak mencintai sastra, “Mereka tidak memikirkan orang lain, yang penting menang! Menang! Proses saja tidak dilewati,” katanya.
Pelukis kelahiran 1960 menunjuk tokoh-tokoh awal pendiri republik ini. “Kalau kita lihat founding fathers kita, Tan Malak, Bung Karno, Bung Hatta, Yamin adalah pembaca sastra. Dan terbukti bahwa mereka adalah pemimpin berkarakter. Gus Dur juga pembaca sastra.”
Tapi sayangnya, lanjut penulis buku Puisi dan Bulu Kuduk ini, sastra tidak diperhatikan, terutama oleh pemerintah. Hal itu terbukti dalam pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal.
“Sekarang ini, sangat tidak serius kan itu, pertama, sastra ditempelkan ke dalam pelajaran bahasa yang dua jam. Terus gurunya juga kadang-kadang guru agama, guru olahraga. Pokonya nggak serius, karena pemerintah menganggap sastra itu nggak penting,” tegasnya.
Berbeda dengan sekolah formal, pesantren adalah lembaga yang mengutamakan sastra, “Pesantren merupakan lembaga yang mengapresiasi sastra. Yang pertama yang diajarkan itu bukan agamanya, tapi sastranya dulu, kan begitu. Pelajaran pun banyak diajarkan dalam bentuk syair-syair. Sudah betul itu, karena sastra itu, saya melihat, ruhnya kebudayaan,” pungkasnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Gus Acep Zanzam: Pesantren harus Apresiasi Sastra Santri"
Post a Comment