Kekerasan yang berulang sampai dua kali dalam waktu yang tak terlalu lama di Sampang Madura telah mencoreng kedamaian di bumi pertiwi. Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf berharap agar kejadian tersebut bisa menjadi sarana untuk muhasabah atau introspeksi diri bagi warga NU.
Menurutnya terdapat tiga aspek yang bisa menjadi pelajaran berharga. Pertama adalah adanya sikap “kutu loncat” yang dilakukan oleh Roisul Hukama yang sebelumnya jelas-jelas pengikut syiah dan belajar di pesantren beraliran syiah di Bangil. Ia keluar dari syiah karena konflik pribadi dengan saudaranya, Tajul Muluk, lalu memprovokasi masyarakat agar terlibat dalam pertikaian atas nama pertentangan aliran.
Bukan berarti menolak atau mencurigai orang yang tiba-tiba menjadi orang sunni, tetapi perlu dilihat motif paling dasar seseorang pindah ajaran, apakah karena sebuah kesadaran atau hal lain seperti konflik pribadi, kepentingan politik, kekuasaan, ekonomi dan lainnya. Semua hal tersebut sangat mungkin terjadi.
Kedua adalah masih adanya sekelompok kecil masyarakat yang berusaha menyelesaikan persoalan dengan cara-cara kekerasan, yang dalam hal ini bisa mempengaruhi pandangan sebagai komunitas yang cinta damai. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga.
“Disini pentingnya penguatan ajaran tawasuth (moderat), tawazun (seimbang) dan tasamuh (toleran) dan i’tidal (adil) yang merupakan inti dari khittah NU. Ini yang menjadi dasar bagi warga NU dalam bersikap dan berperilaku,” paparnya.
Muhasabah terakhir yang perlu diperhatikan adalah keberadaan warga NU yang pindah mengikuti aliran lain yang dalam empat tahun sudah mencapai 100 keluarga. “Bagaimana hal ini bisa terjadi dan ini menjadi otokritik bagi ulama setempat dalam membimbing umatnya,” tandasnya. Sumber: NU Online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Nahdliyin Harus Muhasabah Ulang Tentang 3 Hal Terkait Kasus Sampang"
Post a Comment