The Last Man Standing - In Memoriam Mbah Maridjan

Oleh Prof. Dr. Muhammad AS Hikam (President University Jakarta, Mantan Menristek, Mantan Ketua DPP PKB)

Saya sama sekali tidak berpretensi, apalagi mengklaim, sebagai orang yang kenal akrab dengan mBah Marijan (almarhum). Jangankan akrab, kenal saja barangkali tidak lebih dari dua atau tiga jam. Bahkan ketika saya bertemu beliau, atau lebih tepatnya sowan ke rumahnya pada 2009, mBah Marijan sudah sangat beken di seluruh jagad, bukan hanya di Indonesia saja. Kedatangan saya saat itu (bersama isteri dan dua orang kawan yang mengantar) ke Kinahrejo, Cangkringan, adalah sekadar silaturahim dan didorong juga oleh "curiosity" seperti orang-orang lain yang tiap hari berdatangan ke rumah beliau di lereng Merapi.



Seingat saya, hari itu adalah Jum'at dan kebetulan tamu-tamu sudah tinggal sedikit karena sudah hampir waktu sholat, sehingga saya dan rombongan bisa ngobrol dengan simbah tanpa ada pihak lain, kecuali keluarga beliau yang keluar masuk. Kesan pertama saya, mBah Marijan orangnya sangat sederhana dan cenderung tertutup kepada orang yang masih belum dikenalnya dengan baik. Mungkin hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi orang yang sangat banyak menerima tamu dengan macam-macam lata belakang dan datang tanpa janji. Sangatlah logis kalau mBah Marijan mempunyai strategi tersendiri menghadapi situasi keseharian seperti ini.

Namun saya yakin kalau mBah Marijan sudah tahu atau kenal dengan tamunya, maka beliau adalah sosok yang hangat, sangat terbuka, ramah, dan humoris. Sulit membayangkan kesibukan seorang juru kunci Gunung Merapi yang tiap saat harus menghadapi berbagai masalah, mulai dari para pendaki gunung, peneliti geologi, peneliti antropologi, pejabat dari paling bawah sampai paling atas, dari orang-orang kampung sampai dari Jakarta dan luar Jawa, sampai kesibukan yang merupakan tugas beliau yaitu menjadi penjaga Merapi yang melibatkan banyak ritual dan lelaku itu. Orang sekarang pasti akan mengatakan mBah Marijan adalah sosok "multi-tasker" par-excellence, sosok yang sangat piawai dalam menghadapi segala jenis manusia, dan sosok yang mampu menjadi perantara antara "jagad cilik" dan "jagad gedhe", namun semuanya dilakoni atau dijalani dengan sikap sangat sederhana dan apa adanya.

Waktu saya mengobrol dengan beliau, setiap saat keluar ucapan beliau "wah kulo niki mboten ngertos punapa-punapa, Pak.." (ah, saya ini tidak mengerti apa-apa, Pak), atau "wah lha wong cilik kados kulo.." (Wah orang kecil seperti saya...), atau "lha monggo kersanipun poro priyagung wonten nginggil..." (ya terserah apa maunya bapak-bapak yang di atas), dst. Padahal, saya menangkap dalam obrolan "gayeng" dengan beliau bahwa wawasan beliau tentang macam-macam topik juga tidak kalah luas. Tentu dengan cara pengungkapan beliau sendiri yang kadang-kadang memang disampaikan dalam "sanepo boso" atau bahasa perumpamaan Jawa. Walhasil, saya mengobrol tentang yopik yang bermacam-macam dan kadang loncat-loncat: urusan menjaga gunung, mencari pendaki tersesat, obat-obatan tradisional, pertemuan dengan Gus Dur, membangun Masjid, banjir Jakarta, dan lain-lain dalam tempo hanya satu setengah jam, karena harus Jum'atan. Sehabis Jumatan, saya dan rombongan pun meninggalakan kediaman beliau.

Kenangan saya tidak banyak tetapi cukup berkesan. Beliau tidak mau dipotret langsung dan minta saya potret dengan gambar beliau yang ada di pigura. Toh wien, isteri saya, nekad mengambil potret dari kejauhan usai shalat Jumat dan sedang di halaman rumah akan pamitan dengan simbah! Karena itulah saya menulis catatan ini sekalian mau minta maaf karena kami tidak ikut aturan beliau. Semoga saya tidak kualat saja, karena itu untuk kebaikan juga yaitu supaya saya bisa menunjukkan kepada anak saya yang sekolah di luar bahwa ayahnya sudah sowan kepada simbah yang kondang itu. Saya tahu mBah Marijan bukan hanya milik Jogja dan Indonesia saja ketika saya membaca artikel tentang beliau di Majalah National Geography (edisi bhs Inggris). Para geolog dan antropolog asing sangat mengagumi dan menghormati pemgetahuan dan kebijaksanaan lokal (local knowledeges and wisdom) yang dimiliki beliau.

Selamat jalan mBah, nyuwun gunging pangaksami, dan semoga simbah diberi tempat yang layak di sisi Gusti Yang Murbeng Dumadi. Amin...Alfatihah....

Source here



Selamat jalan sesepuh NU di kawasan Merapi...

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "The Last Man Standing - In Memoriam Mbah Maridjan"

Post a Comment