Peringatan 1.000 hari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diisi dengan pembacaan doa tahlil dan taushiyah dari para ulama telah berlangsung dan dihadiri ribuan, bahkan puluhan ribu jamaah. Kita tentu tidak akan menanggapi pertanyaan kalangan ‘anti bid’ah’ tentang kenapa harus 1.000 hari, apakah ada perintah resminya dalam Islam.
Faktanya, peringatan 1.000 tidak hanya diselenggarakan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, tempat dimakamkannya seorang tokoh besar NU ini, tetapi juga di Ciganjur Jakarta dan di beberapa daerah di Indonesia, bahkan di luar negeri.
Agak aneh memang, dalam tradisi NU biasanya peringatan tahunan (haul), atau peringatan 1.000 hari wafatnya seseorang selalu diiringi dengan ritual ziarah kubur atau berdoa di makam. Antusias masyarakat yang tidak sempat ke Tebuireng untuk mendoakan dan memperingati Gus Dur dari tempat masing-masing membuat keluarga besar NU turut merasa bangga. Tidak hanya kaum santri atau warga nahdliyin, peringatan 1.000 hari juga dilakukan secara resmi oleh sejumlah pemerintah daerah, bahkan kalangan seniman pun turut mendoakan presiden ke-4 RI ini dengan cara mereka sendiri.
Kenapa Gus Dur perlu didoakan? Kenapa perlu mendoakan ulama atau tokoh yang sudah cukup banyak berbuat kebajikan di dunia? Para kiai biasanya memberikan analogi sederhana: Ibarat gelas yang sudah terisi penuh, jika gelas itu terus diisi maka airnya akan meluber ke tempat sekelilingnya; akan memberkahi para jamaah yang berdoa.
Dalam salah satu ajaran kiai NU dikenal istilah tawassul, atau berdoa dengan perantara. Misalnya, dalam setiap pembacaan tahlil, surah Yasin atau Al-Fatihah selalu diniatkan bahwa pahala dari semua itu akan dihadiahkan kepada ahli kubur yang sedang didoakan. Maksudnya sebenarnya adalah agar Allah SWT juga akan memberikan hadiah pahala kepada orang yang mendokan itu.
Sesuatu yang menjadi perantara dalam doa disebut wasilah. Wasilah ini bisa berupa amal baik dan bisa berupa orang; baik yang masih hidup (dengan cara minta didoakan) atau yang sudah meninggal (dengan mendoakannya). Orang yang bisa menjadi wasilah adalah para nabi, wali, serta orang-orang saleh. Dan agaknya Gus Dur telah menjadi bagian dari orang yang diyakini pantas menjadi wasilah dalam berdoa.
Lebih dari sekedar berdoa. Peringatan haul, 100 hari atau 1000 hari, adalah dalam rangka mengenang jasa-jasa seseorang yang telah meninggal dunia, mencontoh berbagai keteladanannya selama hidup, dan meneruskan semua perjuangan yang telah dirintis.
Gus Dur memang tokoh kontroversial. Namun di balik semua kontroversi itu, ia mempunyai simpatisannya sendiri. Bayangkan, seorang santri pesantren yang sangat kolot, dan seniman atau aktivis sosial yang cukup radikal bisa mempunyai satu tokoh idola. Seorang kiai kampung dan seorang negarawan yang perlente juga satu punya idola, Gus Dur.
Kita memang tidak perlu mengagung-agungkan seorang Gus Dur yang sudah meninggal dunia. Namun bagi para Gusdurian, sama saja berguru kepada Gus Dur pada saat ia hidup atau ketika sudah meninggal. Bahkan ketika sulit diketemukan guru yang pantas menjadi teladan, maka berguru kepada yang sudah meninggal itu pun lebih baik. Sumber: NU Online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Tawassul dengan Gus Dur"
Post a Comment