Oleh Budi Kleden
Agama-agama tampaknya terlampau berkonsentrasi pada hal-hal serius. Agama-agama disibukkan dengan pengaturan ibadat yang tepat dan pengawasan atas perilaku moral manusia yang benar. Agama-agama juga terlampau serius untuk memberi hati bagi hal-hal yang ringan dan lucu dalam hidup. Padahal, sejatinya humor itu penting dan boleh disebut sebagai salah satu tanda orang-orang yang diselamatkan.
Humor dan tertawa yang menjadi reaksinya adalah ungkapan kelepasan, pembebasan. Itulah pula inti dari keimanan. Iman tidak dapat dipisahkan dari pembebasan dan pembebasan tidak dapat dilepaskan dari kegembiraan. Orang yang yakin akan pembebasannya adalah orang yang bergembira dan mewartakan kegembiraan.
Orang yang beriman meyakini bahwa hidupnya jauh lebih kaya daripada apa yang dapat diaturnya sendiri, bahwa makna dirinya jauh lebih dalam daripada apa yang direfleksikannya, bahwa martabatnya jauh lebih luhur daripada apa yang dapat dikumpulkan dan dibanggakannya sendiri. Dia meyakini kebesaran Tuhan yang rela menyapa dan mengangkatnya dari kerapuhan dan keterbatasan. Iman yang sejati selalu bermuara pada kedermawanan dalam mengampuni kesalahan dan keluasan hati menerima perbedaan.
Sebuah gugatan
Tak Ada Santo dari Sirkus adalah sebuah gugatan terhadap hilangnya humor dalam agama-agama. Aku, si tokoh utama di dalam novel Seno ini, mengisahkan pengalamannya yang berkaitan dengan sirkus dari dua masa dan di tempat berbeda. Kisah masa kecil yang diceritakan dalam alur mundur mempertemukan kita dengan dunia sirkus yang memadukan kejenakaan dan musik. Paduan ini dihadirkan kembali pada masa dewasa saat sang tokoh utama berkisah tentang petualangannya sebagai seorang tenaga sukarela untuk perdamaian di sebuah kota tanpa nama.
Kedua masa dan dunia berbeda ini menghadirkan sirkus dalam dua sisi yang berlawanan. Kekaguman pada sirkus si tokoh utama pada masa kecil sepertinya dipertaruhkan saat dia mesti mengalami bahwa sirkus, seperti semua hal lain di dalam kehidupan orang dewasa, dapat disalahgunakan. Cinta dan keterikatan warga dengan kelompok sirkus pertama yang artistik dan berselera tinggi, kemudian dihancurkan oleh kelompok sirkus kedua yang mengutamakan atraksi-atraksi kekerasan dan bergaya militer.
Atas nama nasionalisme, orang-orang yang mengandalkan kekerasan ini menjebak warga dalam rasa benci dan amarah terhadap para seniman yang sebelumnya sudah lekat di hati warga. Yang tersisa dalam diri si tokoh utama adalah kepandaian meniup klarinet. Kepandaian inilah yang membawanya bergabung dengan para relawan perdamaian.
Ternyata di sini pun, di kota yang memiliki kebanggaan karena menjadi tempat istimewa dalam petualangan Paulus, sang santo agung dalam tradisi kekristenan, si aku dalam Tak Ada Santo dari Sirkus, menghadapi masalah yang sama. Sirkus di mata sejumlah pegiat perdamaian yang berusia muda dan kreatif dipandang sebagai sarana perdamaian karena meluluhkan kepongahan manusia dan meleburkan semua orang dalam kegembiraan yang sama. Namun, di sisi lain sirkus dianggap sebagai sarana pencemaran kekudusan oleh jemaat yang dogmatis dan pemimpin para relawan yang sudah mapan.
Ketika menghadapi pertentangan karena sirkus, si pencerita sebagai tokoh utama merasakan dorongan kuat untuk menuruti contoh ibunya, berdoa kepada santo yang berspesialisasi sirkus. Tradisi Katolik memang mengenal tujuh ribuan santo dan santa yang dihormati dan dimintai intervensinya untuk beragam kebutuhan.
Sayangnya, tidak ada yang secara khusus datang dari dunia sirkus. Saat telah menjadi dewasa, kebutuhan yang sama pun mencuat. Namun, sekali lagi di sini khazanah religius tradisional tidak menyediakan penolong istimewa ”dari dunia sirkus sendiri. Santo-santo yang tahu apa yang terjadi di belakang tenda-tenda sirkus”.
Akrobatik berisiko
Mengangkat tema seperti ini bukanlah sebuah hal mudah. Dibutuhkan akrobatik imaginasi ahli sirkus dan kelenturan bahasa seorang pelawak untuk mengusung persoalan ini dalam isi dan bentuk sastra yang serius serentak jenaka. Seno berusaha, tetapi belum sepenuhnya berhasil.
Kecermatan pengamatan, kepekaan menangkap getaran batin dan pengetahuan yang luas mengenai dunia sirkus, musik, serta tradisi keagamaan yang dimiliki dan dimanfaatkan penulis novel ini memang sangat membantu membuat pelukisan yang detail. Hal ini tampaknya perlu dalam sebuah novel yang hampir tidak mengenal dialog. Hanya di dalam tiga bab terakhir dari 17 bab kita membaca beberapa dialog.
Persoalannya, pelukisan yang cermat itu gampang berubah menjadi sebuah analisis serius yang memudarkan kejenakaan. Bahaya ini diperbesar oleh penyimpangan dalam sejumlah penulisan kata dan kalimat dari kaidah tata bahasa baku.
Sirkus memang mengandalkan kejutan, tetapi kejutan yang sudah direncanakan matang dan mengusung makna. Sejumlah kesalahan penulisan di dalam novel ini tampaknya merupakan kelalaian dalam pengeditan yang perlu diperhatikan.
Tidak mudah memasukkan humor dan kejenakaan sirkus ke dalam agama. Bukan perkara mudah pula menulis karya sastra yang membawa dalam bentuknya pesan kejenakaan yang dipadukan dengan keilahian. Maka, pantaslah apabila orang berdoa agar diberikan rasa humor yang benar.
Thomas Morus (1478-1535), politisi dan santo berkebangsaan Inggris, disebut sebagai penulis doa tentang humor yang dapat pula dipakai untuk sirkus: ”Tuhan, berikanlah aku pencernaan yang baik dan juga sesuatu untuk dicernakan. Anugerahkanlah aku kesehatan tubuh beserta kesadaran untuk memeliharanya. Tuhan, berikanlah aku jiwa yang tidak kenal kejenuhan, yang tidak tahu menggerutu, mengeluh, dan mendesah. Jangan biarkan aku terlalu banyak dibebani kecemasan akan egoku yang selalu merasa kurang diperhatikan. Tuhan, berikanlah aku rasa humor. Anugerahkanlah aku rahmat untuk menikmati lelucon sehingga aku dapat sedikit merasakan kebahagiaan di dalam hidup ini dan dapat meneruskannya kepada orang lain!”
Budi Kleden, Dosen Teologi dan Sastra pada STFK Ledalero, Maumere, Flores
Belum ada tanggapan untuk "Ketika Agama Kehilangan Humor"
Post a Comment