Masih Soal Ahlul Halli wal Aqdi

Ahlul halli wal aqdi merupakan institusi khusus yang berfungsi sebagai badan legislatif yang ditaati, berisi orang-orang berpengaruh dalam jamiyyah NU, dibentuk karena keperluan khusus pula.

Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi berarti “orang yang berwenang melepaskan dan mengikat.” Disebut “mengikat” karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli; dan disebut “melepaskan” karena mereka yang duduk disitu bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati.



Tradisi ahlul hali dicontohkan oleh sahabat Umar bin Khattab ketika akan meninggal. Dia memilih orang-orang terpercaya sebagai wakil dari kaum Muslimin untuk mencari jalan keluar pasca meninggalnya sang khalifah (Umar bin Khattab). Mereka yang terpilih kemudian bermusyawarah, berdebat, dan memutuskan sesuatu yang harus ditaati anggota ahlul halli dan kaum Muslimin. Keputusannya saat itu, diantaranya adalah memilih Utsman bin Affan sebagai pengganti Khalifah Umar bin Khattab.

Tradisi ini semakin dikenal umat Islam setelah para Faqih memformulasikan dalam bentuk ilmu Fikih yang dipelajari oleh kaum Muslimin, seperti yang dilakukan Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthoniyah. Al Mawardi memasukkan lembaga ahlul halli wal aqdi sebagai institusi tersendiri yang berfungsi semacam legislatif disamping institusi-institusi lain yang membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan. Dalam fikih, institusi ini adalah wujud dari perintah Al-Qur’an dalam ayat:”…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran (3): 159). Anggota Ahlul halli adalah perwakilan dari orang-orang yang berpengaruh dan penting di dalam umat, karena dalam wilayah yang luas dan umat yang banyak tidak mungkin satu orang diwakili satu orang, dan semua menjadi anggota ahlul halli.

Jamiyah NU kemudian menggunakan tradisi ini dalam bentuk badan resmi bernama syuriyah dan berfungsi sebagai ahlul halli. Karena posisi demikian, mestilah ditaati, karena syuriyah menjadi institusi tertinggi, terdiri dari rais aam, yang diangkat oleh muktamar dan para ahlul halli yang dipilih formatur.

Di masa awal NU, ahlul halli sebagai fungsi juga pernah dikemukakan NU ketika mengusulkan Indonesia berparlemen, sebagaimana dituntut GAPI dalam Korindo. NU membuat sebuah maklumat yang menyebut badan yang perlu ada itu sebagai ahlul halli wal aqdi:

“Menimbang bahwa pada pertama kalinya parlemen dalam arti yang sebenar-benarnya, yaitu permusyawaratannya Ahcoe’lchilli wal’-aqdi yang dipilih oleh umat Islam memang tuntunan (tata cara) Islam. Dipandang dari jurusan ini, syuriyah dan tanfidziyah menyetujui Indonesia berparlemen dengan arti tersebut.”

Di luar itu, sebagai fungsi, NU juga pernah mempraktekkan konsep ahlul halli bagi lembaga-lembaga kenegaraan Indonesia, yang saat itu dipimpin Presiden Soekarno, karena mendapatkan tantangan legitimasi dari berbagai pemberontakan, termasuk dari Darul Islam. NU memberikan gelar Soekarno sebagai waliyul amri adh-dharuri bis syaukah (pemimpin dalam keadaan darurat yang memiliki kekuasaan sah). Ini dilakukan NU karena didorong salah satunya oleh pandangan keagamaan, yaitu untuk menikahkan seorang perempuan yang tidak memiliki wali nasab, dilakukan oleh hakim. Sementara wali hakim itu, menurut mazhab Syafii, hanya dianggap sah kalau ia diangkat karena memperoleh kuasa dari pemerintah yang telah dianggap sah pula. Dari sudut ini, kemudian NU menganggap badan-badan yang dibentuk pemerintah yang sah berfungsi harus ditaati.

Sumber: NU Online

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Masih Soal Ahlul Halli wal Aqdi"

Post a Comment