Syiar NU dari Muktamar ke Muktamar

JAKARTA - Tahun 2015 yang sebentar lagi tiba menjadi momen penting bagi NU karena pada tahun tersebut, dijadualkan pelaksanaan Muktamar ke-33 NU. Penyelenggaraan Muktamar ke-32 yang berlangsung di Makassar tahun 2010 merupakan momentum penting karena sejak muktamar Medan pada tahun 1956, baru tahun 2010 atau setelah 54 tahun, NU kembali menyelenggarakan muktamar di luar Jawa. Visi penyelenggaraan di Makassar waktu itu jelas, untuk syiar NU di luar Jawa.

NU Online akan menurunkan sejumlah tulisan terkait dengan sejarah penyelenggaraan muktamar NU yang sudah berlangsung selama 32 kali untuk memperkaya perspektif dalam persiapan penyelenggaraan momen musyawarah tertinggi NU ini.

Sejatinya, muktamar merupakan forum permusyawaratan tertinggi NU untuk mengevaluasi kinerja kepengurusan, penyusun program baru, dan memilih pengurus untuk periode selanjutnya. Acara ini diikuti oleh PBNU, PWNU dan PCNU yang diwakili oleh rais syuriyah, ketua tanfidziyah, katib, sekretaris dan bendahara serta sejumlah peserta tambahan yang diusulkan hadir dalam pertemuan tersebut.



Para peserta disebut muktamirin, terdiri dari peserta, peninjau dan pengamat. Peserta terdiri dari Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Cabang. Mereka berhak mengemukakan saran dan pendapat terhadap masalah-masalah yang berkembang di dalam persidangan. Peninjau juga berhak menyampaikan saran dan pendapat, tetapi tidak memiliki hak suara. Sedangkan pengamat biasanya merupakan intelektual atau akademisi yang mengikuti jalannya persidangan dalam muktamar. Mereka dapat mengikuti persidangan yang digelar dalam berbagai komisi sesuai dengan minatnya.

Selain itu, terdapat pula penggembira, yaitu warga NU yang sekedar melihat-lihat aktivitas muktamar. Pada muktamar ke-32 NU yang berlangsung di Makassar (2010), jumlah muktamirin sekitar 4.000 orang dan jika ditambah dengan para penggembira, bisa mencapai 8.000 orang.

Muktamar NU membicarakan dan menetapkan:
a. Laporan pertanggungjawaban PBNU yang disampaikan secara tertulis
b. Membahas AD/ART
c. Garis-garis Besar Program Kerja NU untuk 5 (lima) tahun ke depan
d. Membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan
e. Rekomendasi organisasi
f. Memilih rais aam dan ketua umum tanfidziyah

Mengingat luasnya masalah keagamaan yang dibahas, forum bahtsul masail kini dibagi lagi dalam beberapa komisi seperti komisi waqiiyah, qonuniyah, dan maudluiyyah sesuai dengan temanya.

Muktamar pertama diselenggarakan di Surabaya pada 21 Oktober 1926, tak lama setelah NU berdiri dan tetap terselenggara di kota tersebut sampai muktamar ketiga. Pada tahun-tahun berikutnya, muktamar secara berurutan semakin ke wilayah barat. dimulai di Semarang (1929), Pekalongan (1930), Cirebon (1931), Bandung (1932), dan Jakarta (1933) dan kemudian pindah ke kota ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Setelah periode itu, penyelenggaraanya berjalan secara acak.

Muktamar di luar Jawa pertama kali diselenggarakan di Banjarmasin (1936). Muktamar tahun 1941 direncanakan di Palembang, tetapi gagal karena ada perang Asia Pasifik. Selama enam tahun masa pendudukan Jepang, tidak diselenggarakan muktamar, baru pada 1946, setelah kemerdekaan RI, diselenggarakan muktamar di Purwokerto.

Tempat penyelenggaraan muktamar selalu terkait dengan syiar dan upaya NU membantu umat Islam yang mengalami masalah. Muktamar di Semarang (1929) dikarenakan adanya perpecahan di tubuh Syarekat Islam yang terbagi antara SI Putih dan SI Merah, yang didominasi oleh kelompok komunis. Demikian pula, muktamar Pekalongan (1930) diselenggarakan setelah terjadi konflik hebat antara penduduk dan etnis Tionghoa sehingga NU merasa perlu meredamnya. Muktamar Cirebon (1931) merupakan upaya mengatasi perpecahan umat Islam dalam masalah-masalah keagamaan sedangkan muktamar Bandung (1932) merupakan strategi NU dalam mengembangkan diri di wilayah Priangan.

Sumber: NU Online

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Syiar NU dari Muktamar ke Muktamar"

Post a Comment