Jakarta, NU Online
Semangat anak-anak muda NU harus selalu menyala. Sisi penting dari anak muda tak lain adalah jiwa yang merdeka, mengembara, dan terus bergerak dinamis. Hal ini disampaikan oleh D Zawawi Imron dalam Pidato Kebudayaan di Aula PBNU lt. 8, Rabu (28/3).
“Kita bisa mempertahankan vitalitas atau daya hidup dari penggalian akan peninggalan para ulama. Imam Syafi‘i menggunakan bahasa sindiran bagi anak muda yang malas, ‘fa kabbir alaihi arba‘an bi mautihi’, angkat takbir 4 kali sebagai sembahyang jenazah baginya,” ungkap D Zawawi Imron di belakang podium dibalas riuh rendah para hadirin.
Abdul Mun‘im DZ, mewakili panitia, memberikan salam hormat dan takzim atas kerja-kerja kebudayaan semacam ini. Ahmad Tohari, novelis NU pun memberikan testimoni panjang untuk D Zawawi Imron, sahabat karibnya.
Anak muda NU yang terus-menerus lahir dalam jumlah yang sangat besar, baik kiranya merebut prestasi dalam dunia film dan dunia menulis kreatif dalam hal fiksi baik puisi, novel atau cerpen yang pernah dicapai para raksasa pendahulu NU. Bahkan, mereka mereka harus melampaui prestasi pendahulunya, tandasnya di belakang podium.
Lebih dari 300 orang menghadiri acara pidato kebudayaan ini. Para seniman, pengamat budaya, dan penulis fiksi maupun karya ilmiah, turut serta melibatkan diri dalam pidato kebudayaan perdana di PBNU.
Pidato kebudayaan yang pertama kali digelar PBNU tersebut, diadakan dalam rangka memperingati hari lahir ke-50 tahun Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama yang didirikan di Bandung tahun 1962.
Kecuali itu, pidato kebudayaan ini digelar PBNU untuk memberikan panggung apresiasi bagi D Zawawi Imron yang menerima penghargaan Sea Award Writer se-Asia Tenggara dari Kerajaan Thailand 24 Februari lalu.
D Zawawi Imron turut prihatin pada anak Indonesia yang larut menonton teve dan bermain game saja. Dalam pidato kebudayaan ini, ia mengimbau anak Indonesia untuk giat belajar, melahirkan upaya kreatif, dan kerja-kerja budaya yang mengangkat harkat manusia itu sendiri.
Pidato kebudayaan berlangsung 1 setengah jam tanpa mengurangi seorang peserta pun karena pidato disela dengan guyon-guyon khas pesantren dan khas Madura. Meski disela dengan guyon dan canda, pidato kebudayaan berlangsung cukup khidmat. Gelapnya ruangan dengan 3 lampu, merah, putih, dan hijau yang menyorot hanya ke podium, menambah sakralitas panggung pidato kebudayaan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
asalamualaiakum.
ReplyDeletemaaf pak admin bisakah saya meminta nomor kontak pak zawawi imron?, kami bermaksud mengundang beliau dalam acara kami di KMNU IPB,
mohon bantuannya, terimakasih.