Jakarta, NU Online
Lesbumi lahir tanggal 28 Maret tahun 1962, saat pergumulan ideologi bersaing keras antara sosialime realis dan humanisme universal. Di sisi lain, budaya-budaya asing yang disebarkan film Amerika melalui AMPAI (semacam Twenty One sekarang) juga dipasarkan secara bebas.
Menurut Wakil Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Alex Komang, keadaan demikian persis dengan sekarang, “Persoalan yang dihadapi sekarang, mirip ketika Lesbumi lahir,” ujarnya.
Hal itu diungkapkan Alex saat menyampaikan sambutan pada Musyawarah Film Nasional yang diselenggerakan Lesbumi, Kamis (12/4) di gedung PBNU, Jakarta, dengan tema Posisi Indonesia dalam Film Nasional.
Film-film bagus buatan dalam negeri malah tidak mendapatkan tempat di masyarakat. “Film Sang Penari itu bagus. Tapi penontonnya tidak sampai seratus ribu orang. Balik modal saja sudah untung. Ketika diurut-urut, ternyata masalahnya kita tidak punya outlet. Film bagus tidak sampai kepada penontonnya,” paparnya.
“Kita tidak mau melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya,” tegas Alex yang juga artis kondang ini, mengutip perkataan Asrul Sani dalam Surat-Surat Kepercayaan Asrul Sani.
Menurut Alex, hal tersebut karena bioskop-bioskop yang ada, hanya sekira 500 layar di seluruh Indonesia. Dan terkonsentrasi di beberapa kota besar. Tentu saja tidak cukup untuk penduduk 230 juta jiwa. Selain itu, karena bioskop itu milik perusahaan-perusahaan asing, mereka memilki kewanangan untuk memutar film sesuai kepentingan mereka.
Lebih lanjut, menurut Alex, NU harus menjadi pelaku perfilaman Indonesia, karena selama ini hanya jadi obyek pasarnya. Padahal film merupakan media yang paling efektif untuk membangun karakter bangsa, sehingga masyarakat bisa menentukan apa yang baik mereka tonton.
Belum ada tanggapan untuk "NU Harus Jadi Pelaku Film Berkualitas"
Post a Comment