by Muna Panggabean
Jika karena pikirannya seseorang dianggap layak untuk mati, keadaban pasti sudah lama absen di negeri ini. tak semata karena para pelakunya kaum fundamentalis, tapi juga karena kita gagal menyelenggarakan keadaban itu. kemoderatan kita ternyata tak berdaya menyinari jagad raya. kita asyik dengan kegemilangan berpikir, memetakan nalar seluas khayal, namun tak cukup punya kesabaran mengomunikasikannya kepada sesama. sebuah bom untuk ulil abshar abdalla meledak di utan kayu. kita semua terperanjat. bom tersebut bukan lagi ungkapan kemarahan, kecemburuan, dan kekecewaan, --sehingga biasanya ditargetkan untuk menghabisi puluhan bahkan ratusan orang-- tapi sudah menajam menjadi sebuah serangan terukur yang ditujukan kepada seseorang.
Ulil kemudian tangkas beranalisis: selama 10 tahun saya bergiat mengobarkan pluralisme dan membangun penghormatan kepada semua agama, tidak pernah saya mengalami serangan semacam ini. belakangan saya memang lebih mengemuka sebagai politikawan, sehingga dugaan saya --masih spekulatif-- bom ini pasti ada kaitannya dengan itu. saya agak terusik dengan analisis ulil. bom adalah sebuah pernyataan terbuka. jika semata ingin membunuh ulil tanpa membiarkan masyarakat bercuriga, ada banyak cara kematian yang lebih canggih, bukan bom yang cenderung diresepsi sebagai tindakan barbar. si pelaku memilihnya karena ada pesan yang ingin dikemukakan secara terbuka dan bergema keras. biasanya, pesan yang disampaikan lugas, tegas, dan tidak mendua.
Surat dan buku yang menjadi kemasan bom untuk ulil adalah pesan yang dimaui oleh si pengirim untuk kita terima bersama. bahwa islam versi si pengirim adalah satu-satunya kebenaran di alam semesta ini. barangsiapa yang bermaksud menawarnya, apalagi menolaknya, layak untuk dibunuh. namun, lewat beberapa buku yang saya baca, ada banyak pengeboman terjadi karena pesanan sekelompok orang, badan intelijen, perusahaan, atau negara tertentu. pesan yang dikumandangkan oleh letusan bom tersebut menjadi, setidaknya, terpampang di 2 lapis. lapis pertama paling benderang karena biasanya tertuang dalam sebuah surat pernyataan dari pelaku pengeboman. pesan di lapis kedua yang dikirimkan si pemesan bom tak mudah dibaca orang banyak karena tak ada pernyataan tertulis, melainkan harus dicerna si korban --jika selamat, atau orang-orang dekat di sekitarnya. menjadi jelas buat kita semua bahwa ulil sebetulnya ingin berkata: bom yang ditujukan kepadanya adalah bom pesanan. ada sebuah kelompok lain di balik mereka yang mengantar bom ke utan kayu. nah, jika mengikuti logika ini, si pemesan seharusnya adalah mereka yang memiliki keluasan informasi untuk cukup tahu bahwa ulil sebenarnya sudah lama tidak berkantor di utan kayu, namun di freedom institute. tapi, kenapa bom tidak dikirim ke proklamasi? mungkinkah bom tersebut sebetulnya adalah pesan yang ditujukan kepada tempo dan aburizal? ini tentang calon presiden ke-7, kata christanto wibisono dalam talkshow di jakarta lawyers club membahas soal wikileaks.
Anak-anak indonesia sudah mengglobal. mereka penuh percaya diri menghampiri para penghimpun informasi, termasuk mendekati media sekelas Sydney Morning Herald dan The Age. lupakan tahyul yang berkata bahwa bule tak bisa diatur --segala sesuatu pasti terukur. berita di 2 koran australia pekan kemarin itu adalah tamparan keras kepada partai demokrat, ikonnya, serta calon presiden yang akan mereka usung di tahun 2014 nanti. saya tidak percaya jika demokrat dan sby tega menampar balik dengan bom. namun, ada pihak-pihak yang berkepentingan dengan kelanggengan partai demokrat dan keluarga yudhoyono dalam pentas politik indonesia yang merasa sangat terganggu dengan berita menggegerkan pekan lalu. dan situasinya akan jauh lebih ruwet jika majalah berita mingguan tempo menurunkan laporan khusus yang menguliti itu semua di senin depan. kajian di atas, bisa jadi, ngawur. tapi, saya bersependapat dengan ulil bahwa pesan yang dikumandangkan oleh bom tersebut ada di 2 lapis. lapis pertama sangat jelas bagi ulil, saya, dan para pluralist lainnya. lapis ke-2 masih harus kita temukan. namun, satu hal yang pasti, negeri ini sudah jatuh ke dalam penyanderaan para preman. jika para pelaku pengeboman sudah ditangkap, dihukum, bahkan sampai mati, namun bom masih juga meledak, bisa jadi karena para pemesan bom sebetulnya belum dan tidak pernah tertangkap. mereka melenggang bebas sembari merencanakan jadwal pengeboman berikutnya. jika anda tidak bersepemahaman dengan saya, mari kita ikuti kasus GKI Taman Yasmin. mereka telah memiliki ijin mendirikan bangunan dan ijin beribadah yang diperoleh dengan cara yang sah dan patut. ketika rezim sedikit berganti dan pks masuk di dalamnya, ijin tersebut digugat oleh walikota yang sebetulnya menggugat kebijakannya sendiri. umat dilarang beribadah. padahal dalam logika hukum mana pun, selama gugatan belum diterima dan berkekuatan hukum tetap, kebijakan lama harus terus berlangsung. tapi, umat mengalah. mereka memilih beribadah di trotoar. pengadilan menolak gugatan pemerintah kota. mereka bersikeras menggugat sampai ke tingkat kasasi, bahkan hingga ke tingkat PK, peninjauan kembali. keadilan ditegakkan. dalam upaya hukum terakhir, mahkamah agung bersikukuh menolak gugatan pemkot, sehingga dengan demikian ijin mendirikan bangunan dan ijin beribadah yang dimiliki GKI Taman Yasmin sudah berkekuatan hukum tetap dan sampai kapan pun tidak bisa digugat lagi. apa yang kemudian terjadi? ketika umat dengan luapan sukacita hendak memasuki gereja, sekian barisan satpol pp dan polisi menghadang mereka dengan alasan salinan keputusan MA belum diterima sehingga eksekusi belum bisa dilakukan. masya allah! umat adalah pihak yang digugat, sehingga ketika gugatan telah ditolak, mereka tidak butuh menunggu salinan keputusan untuk memasuki rumah mereka kembali. walikota bogor lalu berjanji akan mengijinkan ibadah di GKI Taman Yasmin berlangsung kembali setelah menerima salinan keputusan. 2 pekan lalu, salinan keputusan telah tiba di tangan penggugat dan tergugat. di hari minggu yang cerah warga jemaat GKI Taman Yasmin bersiap memasuki gedung gereja. kembali para serdadu tegak menghadang. beberapa hari kemudian, walikota Bogor bahkan bersuara keras akan membatalkan semua ijin yang sudah diperoleh GKI Taman Yasmin. mereka yang merasa berada di atas hukum atau berkeyakinan tak terjangkau hukum adalah para preman, free man. dan itu dimungkinkan karena negara sudah lama tak berdaya. ini petanda yang paling jelas bahwa kita tengah memasuki apa yang disebut negara gagal seperti yang tengah dialami pakistan, irak, dan afghanistan. saya benci mengatakan ini: tapi kita memang cuma punya presiden bongsor yang tak punya nyali berhadapan dengan para penjahat. beberapa teman menghubungi saya lewat personal message: apakah kegiatan bedah buku Dari Sebuah Guci di GKI Denpasar, Bali bersama Ulil Abshar Abdalla, Albertus Patty, dan Fariz RM hari sabtu, 19 maret pk 16:00 witeng dibatalkan karena peristiwa pengeboman kemarin? hell, no. kita tidak boleh ditaklukkan teror. tapi, mereka bersikeras mendesak. muna, kamu hidup di sebuah negara tempat diskusi dan dialog diselenggarakan tanpa penegakan hukum yang ketat bagi mereka yang melanggar sehingga memberi jaminan keamanan bagi para pesertanya. dialog seharusnya bisa terlenggara sampai kepada pengelolaan isyu-isyu yang melahirkan perbedaan pandang yang ekstrim selama para pengaman memastikan mereka selalu hadir ketika pelanggaran terjadi. keterbiasaan mendiskusikan hal-hal semacam itu secara riuh akan mendewasakan segenap anggota masyarakat. tapi, kamu sedang bermimpi di siang bolong karena yang duduk di singgasana adalah kak didu, bukan sby yang gagah itu. sekecil apa pun kita harus menjadi terang. bisa jadi dia cuma bertahan lima menit lalu padam. tapi, itu lima menit yang menakjubkan.
Belum ada tanggapan untuk "Bom Utan Kayu"
Post a Comment