Kok bisa amburadhul begitu? Pertanyaan besar itu pula yang dewasa ini menggelisahkan PBNU mengingat PBNU sangat berkepentingan dengan kemajuan mayoritas Nahdliyin yang realitasnya penghuni kawasan basis pertanian.
“Berangkat dari keprihatinan inilah kemudian beberapa fungsionaris PBNU melakukan pemetaan tentang beragam permasalahan yang menjadi latar belakang tidak ketemunya antara elite intelektual dengan rakyat jelata pemakai teknologi,” kata. Ketua PBNU Mochammad Maksum Machfoedz di Jakarta, Selasa (5/4).
Pemetaan tersebut menghasilkan sekurang-kurangnya tiga permasalahan besar yang semuanya merupakan hambatan struktural-kelembagaan berkaitan dengan urusan bernegara.
Pertama, kelembagaan penelitian yang berserak dan keberadaan Kemenristek itu ternyata tidak pernah ketemu dan bersinergi dalam program dan pengendalian. Kemenristek RI memiliki kewenangan manyusun kebijakan penelitian nasional RI.
Tapi celakanya, lembaga yang seharusnya super power dalam urusan penelitian ini ternyata tidak memiliki kewenangan dan kekuatan politik apapun untuk bisa mengatur kinerja litbang-litbang yang ada di tanah air.
Akibatnya, penelitian dan karya intelektual tidak pernah terlepas dari ego sektoral masing-masing, menjadi sekedar pendukung periuk keproyekan dan mendongkrak kenaikan pangkat semata. Penguatan kewenangan dan kekuatan politik Kemenristek sebagai perencana sekaligus pengendali rasanya merupakan solusi struktural yang sangat mendesak dan tidak bisa ditawar.
Kedua, relasi antara karya elite penelitian yang berasyik-masyuk di menara gadhing dan masyarakat pemakai ternyata nyaris tidak pernah ada. Dua pihak ini tidak pernah ketemu. Tidak sedikit karya intelektual yang memiliki potensi untuk membumi dan mensejahtarakan rakyat.
Namun demikian, tidak adanya upaya-upaya promosi dan mediatif dalam hubungan antara karya intelektual dan komunitas pemakainya telah menyebabkan rendahnya adopsi teknologi bagi kesejahteraan rakyat.
Dalam bahasa PBNU, sejumlah karya itu menjadi mubadzir. Solusinya, ruang kosong ini harus diisi dengan struktur mediasi melalui penguatan kelembagaan yang bisa mengkomunikan hubungan antara menara gadhing dan rakyat jelata.
Ketiga, kekosongan mediatif ini sebetulnya mudah sekali diselesaikan andaikata Negara melibatkan CSO, organisasi masyarakat sipil yang realitasnya memang memiliki jama’ah sangat besar pada tingkat basis. PBNU, Muhammadyah, dan orsos lainnya sungguh memiliki kepentingan yang sama dalam penguatan Rahmatan li al-Alamin.
Sayangnya, pembangunan nasional selama ini telah dimonopoli habis oleh Pemerintah. Andaikata saja CSO ini bisa diakomodasi untuk bermitra dengan Pemerintah, bukannya malah diharamkan, maka kekosongna mediataif ini akan terselesaikan lebih efektif dalam membangun relasi sinergis antar karya dan lembaga penelitian, dan dalam upaya pembumian.
Catatan Akhir
Berdasarkan pemetaan sederhana dan telaah kelembagaan yang dilakukan, sudah waktunya PBNU mendesak kepada Pemerintah RI untuk melakukan pembenahan penelitian dan kelembagaannya guna membangun sinergisnya penelitian baik secara vertikal maupun horisontal, melalui tiga butir penting:
(i) penguatan kewenangan Kemenristek sebagai lembaga penyusun kebijakan sekaligus pengendali penelitian bagi sinergisnya karya intelektual nasional; (ii) penguatan struktur mediasi yang mampu melakukan promosi dan menghubungkan kekayaan intelektual dengan komunitas pemakai;
Dan, (iii) pelibatan PBNU dan orsos lainnya untuk bermitra dengan Pemerintah guna peningkatan fungsi mediasi dalam mendekatkan sinergi dan relasi antara kegiatan penelitian dan dunia nyata pada tingkat komunitas pemakai.
Melalui pembenahan dimaksud, kemanfaatan publik atas setiap karya intelektual anak-anak bangsa akan menjadi lebih memadai dan bermanfaat bagi urusan keummatan di masa mendatang, .........Insya Allah...........!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "PBNU: Kenapa Penelitian Itu Amburadul?"
Post a Comment