JAKARTA - Pertanyaan terpenting terkait isu perekonomian adalah sudah tepatkah arah pembangunan nasional? Ke arah manakah kita menuju? Ekonomi Indonesia yang bertumbuh di tengah gelombang panjang resesi dunia mengundang puja-puji dari berbagai lembaga.
Pada 2030, Indonesia diprediksi akan menjadi The Next Economic Superpowers dengan PDB US$9,3 triliun, peringkat kelima terbesar di dunia. Namun, adakah kita menempuh jalur yang tepat dan berada lebih dekat kepada tujuan dan cita-cita nasional sebagaimana diamanatkan konstitusi?
Pertanyaan ini menjadi isu sentral dalam diskusi panel ahli putaran ketiga bidang perekonomian yang digelar Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya 164 Jakarta (29/10). Hadir beberapa narasumber, antara lain Firmanzah (Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Staf Khusus Presiden Bidang Perekonomian) serta Hendri Saparini (Ekonomi Econit).
Ketua Umum PP ISNU, Ali Masykur Musa, menyatakan ekonomi Indonesia memang tumbuh positif dalam beberapan tahun terakhir. Namun, harus diakui, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum berkualitas karena tidak bertumpu pada sektor riil penghasil barang yang bersifat padat karya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak digerakkan oleh sektor jasa dan keuangan yang memusat di kota-kota besar.
Pola pertumbuhan semacam ini, menurutnya, menimbulkan dampak ganda: pengangguran dan ketimpangan. Pengangguran terjadi karena gap pertumbuhan angkatan kerja dengan rendahnya lapangan kerja yang dapat diserap sektor formal. Sektor penghasil barang yang menyerap banyak tenaga kerja seperti pertanian, industri pengolahan, dan manufaktur berjalan terseok-seok dan jauh tertinggal di belakang sektor jasa keuangan dan telekomunikasi yang lebih bersifat padat modal.
Akibatnya, semakin banyak orang yang bekerja di sektor informal sekadar untuk bertahan hidup dengan menjadi tukang kayu, tukang batu, dan cleaning services, yang jumlahnya—menurut BPS (2012)—mencapai 70,7 juta penduduk (62,71 persen).
Dampak lanjutannya adalah melebarnya jurang ketimpangan distribusi kesejahteraan yang ditandai oleh indeks gini ratio yang naik dari 0,33 pada tahun 2004 menjadi 0,41 pada tahun 2011. PDB per kapita memang naik, tetapi, kenaikan ini disumbang oleh 20 persen pemilik modal yang menguasai 48 persen kekayaan nasional. Sementara 40 persen lapisan terbawah hanya menguasai 16 persen kekayaan nasional. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati 20 persen kelompok teratas dari struktur piramida ekonomi nasional dan hanya sedikit yang dinikmati oleh 40 persen lapisan terbawah.
“Artinya, paradigma pembangunan yang ditempuh cenderung mendorong yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin,”
Jurang ketimpangan menajam. Di satu sisi, sebagaimana laporan Credit Suisse dalam Global Wealth Report 2012 yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara pencetak orang kaya tercepat di dunia bersama Kazakhstan, Rusia, Brasil, dan Thailand. Di sisi lain, kita masih menyaksikan jalan-jalan di desa belum beraspal, irigasi rusak, gubuk-gubuk reot bertebaran bahkan di kota-kota besar, harga sembako tak terjangkau, nasib rakyat di pulau-pulau terdepan mengenaskan, dan industrialisasi jalan di tempat.
“Ini bukti ada yang salah dalam paradigm pembangunan kita,” demikian papar Ali yang juga anggota Badan Pemeriksa Keuangan RI.
Karena itu, ISNU mendesak pemerintah untuk merombak paradigma pembangunan dengan lebih memihak perekonomian rakyat ketimbang pemodal besar dan membalik piramida kesejahteraan yang bertumpu pada rakyat bawah dan kelas menengah.
Pemerintah jangan hanya memompa ekonomi di lantai bursa dan menggelar karpet merah untuk investasi portofolio, tetapi harus menumbuhkan ekonomi di pasar tradisional, mendorong investasi langsung di sektor riil, membatasi arus hot money, dan merangsang munculnya kelas menengah domestik.
Paradigma yang dianut pemerintah saat ini cenderung bias neoliberal, padahal seharusnya pemerintah menjalankan ekonomi konstitusi yang menuntut peran aktif pemerintah memproteksi ekonomi rakyat dan melindungi sektor ekonomi strategis seperti pangan dan energi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Ukuran-ukuran pembangunan pun jangan hanya terpaku pada PDB dan PDB per kapita, tetapi kesejahteraan dan kebahagiaan warganya sebagaimana dilakukan oleh Kerajaan Bhutan. Bhutan adalah negara pertama yang mengukur kemajuan negaranya menggunakan Gross National Happiness (GNH). Sejak 1972, Bhutan mendefinisikan sembilan area kebahagiaan sebagai indikator kemajuan dan kesejahteraan. Selain kesejahteraan materi berupa uang, ada kesejahteraan psikologis, kesehatan, keseimbangan waktu, vitalitas dan hubungan sosial, akses pada seni dan budaya, pendidikan dan pengembangan kapasitas, standar hidup, pemerintahan yang bersih serta vitalitas ekologi.
Menurut Ali, ada baiknya pemerintah menengok model Bhutan yang secara otentik merumuskan indikator kemajuan di luar mainstream sebagaimana diajarkan negara-negara Barat.
“Buat apa ada klaim pertumbuhan kalau keresahan sosial meningkat, angka bunuh diri karena stress dan depresi naik, tawuran pelajar marak, terorisme menggejala, dan kekerasan masih menjadi panglima? Ini semua menyalahi tujuan utama itu sendiri. Dan ini semua harus diakhiri, demikian pungkas Ali. Sumber: NU Online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "ISNU: Pemerintah Harus Segera Ubah Haluan Ekonomi"
Post a Comment