Sumber: REPUBLIKA – Selasa, 12 Agustus 2008. (penulis : hri)
Kepanikan melanda Asia Tengah antara tahun 1215-1220 M. Di tengah situasi nan mencekam, penduduk kota Balkh, Afghanistan, berbondong-bondong mengungsi. Mereka bergegas meninggalkan tanah kelahirannya untuk menyelamatkan diri dari kebiadaban pasukan tentara Mongol. Pasukan Hulagu Khan itu dengan membabi buta menghancurkan kota-kota Islam di wilayah Khurasan Raya.
Sebuah keluarga ulama terkemuka bernama Bahauddin Walad Muhammad bin Husain kemudian memutuskan untuk hijrah ke Anatolia. Di tengah perjalanan, sebuah keajaiban terjadi pada keluarga itu. Saat melintasi Kota Nishapur, Iran, keluarga itu bertemu dengan seorang penyair Persia terkemuka, Fariduddin Attar.
Attar terkagum-kagum saat melihat seorang bocah berusia delapan tahun yang tengah berjalan di belakang sang ayah. Tiba-tiba, dari mulut Attar terucap sebuah kalimat, “Tengah datang ke sini sebuah lautan (sang ayah) yang di belakanganya diikuti sebuah samudra (si bocah).” Sang penyair besar itu pun meramalkan kelak si bocah akan menjadi tokoh spiritual yang besar.
Sang penyair besar itu pun lalu menghadiahkan sebuah kitab yang ditulisnya bertajuk Asrarnama kepada anak kecil itu. Berbilang tahun, ramalan Attar itu akhirnya menjelma menjadi sebuah kenyataan. Ketika menginjak usia dewasa, bocah cilik itu benar- benar menjadi salah satu tokoh spiritual dan penyair sufi terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Sang penyair sufi legendaris asal Persia itu bernama Jalaluddin Ar Rumi. Nama lengkapnya Mawlana Jalaluddin Muhammad bin Muhammad Al Balkhi Al Quniwi.
Masyarakat Afghanistan mengenalnya dengan sebutan kehormatan `Mawlana’. Orang Iran memanggilnya dengan sapaan `Mawlawi’. Sedangkan, di Turki, Rumi dijuluki dengan sebutan `Mevlana’. Namun, menurut Prof Hamka, nama lengkap sang tokoh itu adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husin Al Khatihbi Al Bakri. Ia terlahir di Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604 H. Rumi menjadi nama bekennya. Sebab, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya, Turki dahulu, wilayah itu dikenal dengan nama Rum (Roma).
Ayah Rumi adalah seorang ulama besar bergelar Sulthanul Ulama (Raja Ulama). Sejak kecil, Rumi hidup berpindah-pindah bersama keluarganya. Rumi pernah bermukim di Sinabur, sebelah timur laut Iran. Lalu, hijrah lagi ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda, dan akhirnya menetap di Konya, Turki. Di kota itu, Raja Konya, Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihat kerajaan.
Tak hanya itu, raja Konya juga memberi amanah kepada sang ayah untuk memimpin perguruan agama. Saat Rumi berusia 24 tahun, ayahnya tutup usia di Kota Konya. Sang ayah adalah guru yang sangat penting bagi Rumi. Pengetahuan – nya yang begitu luas tentang ilmu agama diperolehnya dari sang ayah. Guru lainnya yang penting dalam kehidupan Rumi adalah Burhanuddin Muhaqqiq At Turmudzi sahabat sang ayah. Rumi tak hanya puas menimba ilmu di Konya. Atas saran sang guru, ia juga melanglang buana mencari ilmu hingga ke Syam (Suriah).
Menginjak usia 30 tahun, Rumi kembali ke Konya dan menyebarkan beragam ilmu yang dikuasainya. Rumi mulai menjadi guru setelah Burhanuddin tutup usia. Rumi pun mulai dikenal sebagai seorang ulama dan ahli hukum Islam. Madrasah yang dipimpinnya memiliki hampir 4.000 murid. Sebagai ulama terpandang, Rumi pun menjadi tempat bertanya masyarakat Konya. Ia juga kerap kali mengeluarkan fatwa bila umat membutuhkannya. Perjumpaannya dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin At Tabrizi, telah mengubah jalan hidupnya.
Ketika usianya menginjak 48 tahun, Rumi mulai memilih hidup sebagai seorang sufi. Rumi benarbenar mulai berubah. Ia sangat menghormati guru tasawufnya itu. Perlahan-lahan, Rumi mulai meninggalkan tugasnya sebagai seorang guru. Selain memilih hidup sebagai sufi, ia pun mulai menggubah puisi. Sebagai kenangan atas jasa sang guru yang mengenalkannya dengan kehidupan sufistik, Rumi menulis sebuah buku berjudul Diwan Sham-i Tabriz.
Rumi begitu melegenda berkat kedalaman ilmu dan kemampuannya dalam mengungkapkan perasaannya lewat puisi yang begitu indah dan penuh mistis. Tak heran, jika David Fidelerseorang doktor yang menerjemahkan karya Rumi berjudul Love’s Alchemy: Poems from the Sufi Tradition menilai kehebatan Rumi hanya dapat dibandingkan dengan Shakespeare.
“Namun, dibandingkan Shakespeare, Rumi lebih penting dalam sentuhan budaya,” papar Fideler. “Contohnya, Anda bisa menemukan puisi Rumi dalam lirik musik klasik Persia. Bahkan, puisinya juga hadir dalam musik pop Persia yang direkam saat ini.” Menurut Fideler, meski telah tutup usia 750 tahun lalu, dia masih tetap menjadi bagian dari kebudayaan yang hidup di era milenium baru ini.
Hingga kini, buku-buku puisi Rumi, menurut Fideler, selalu menjadi best seller di Amerika Serikat. Lalu, apa yang membuat peradaban di setiap era kepincut dengan puisi-puisi Rumi? Menurut Fideler, kebanyakan orang mengaku mengagumi puisi-puisi Rumi karena kualitas puisinya begitu membahagiakan. Sebagian penulis anti-Islam kerap mengklaim bahwa Rumi bukanlah seorang Muslim.
Para penulis itu kerap mengutip puisi Rumi yang diterjemahkan oleh RA Nicholson dari Divani Shamsi Tabriz. Inilah puisi yang digunakan para anti-Islam untuk memalsukan akidah seorang Rumi: Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim. Bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Aku bukan dari Timur atau Barat. Bukan keluar dari samudra atau timbul dari darat. Bukan alami atau akhirat. Bukan dari unsur- unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal usul mana pun. Tempatku adalah ‘Tanpa Tempat’, jejak dari yang ‘Tanpa Jejak’. Bukan raga ataupun jiwa.
Dalam puisinya itu, Rumi seolah olah tak mengaku seorang Muslim. Betulkan tudingan itu? Dr Ibrahim Gamard seorang psikolog yang juga seorang yang telah mempelajari sufisme selama 30 tahun membantah tudingan itu. Menurut dia, puisi yang diterjemahkan Nicholson itu tak berasal dari puisi Rumi yang asli. Dalam sebuah puisinya yang asli, Rumi secara terang-terangan mengaku sebagai pelayan Alquran sepanjang hayatnya.
Dia juga menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad SAW. Atas dasar itulah, kata Gamard, Rumi adalah seorang Muslim yang taat. Penyair sufi yang terkenal itu tutup usia pada 17 September 1273. Dunia berduka ketika Rumi pergi untuk selamanya. Meski begitu, Rumi masih tetap hidup dalam universalitas puisi-puisinya yang menaklukkan hati setiap insan. Pada tahun 2007, UNESCO memperingati 800 tahun kelahiran Rumi. Tepat pada 30 September 2007, sekolahsekolah di Iran membunyikan bel untuk menghormati sang ulama dan penyair sufi besar itu. heri ruslan
Karya Besar Sang Legenda
Ia berkata : “Siapa itu berada di pintu?”
Aku berkata : “Hamba sahaya Paduka.”
Ia berkata : “Kenapa kau ke mari?”
Aku berkata : “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.”
Ia berkata : “Berapa lama kau bisa bertahan?”
Aku berkata : “Sampai ada panggilan.”
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah bahwa demi cinta, aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata : “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.”
Aku berkata : “Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.”
Ia berkata : “Saksi tidak sah, matamu juling.”
Aku berkata : “Karena wibawa keadilanmu, mataku terbebas dari dosa.?”
Hingga kini, tak ada penyair sufi mana pun yang mampu mengungguli kualitas puisi-puisi sufi karya Rumi. Kemampuannya dalam mengungkapkan perasaan lewat puisi mengandung daya yang begitu memikat. Menurut David Fideler, lirik-lirik puisi Rumi yang banyak diliputi rasa cinta yang dalam kepada Tuhan mampu membekukan waktu di sekeliling orang yang membacanya. Siapa pun yang menghayatinya seakan-akan telah keluar dari dirinya dan meninggalkan sifat keduniawian. Tak hanya itu, lirik-lirik puisi sufinya juga mengandung filsafat serta gambaran inti tasawuf yang dianutnya.
Secara umum, puisi-puisi Rumi biasa dibagi ke dalam beberapa kategori. Ada puisi empat baris atau rubayat, enam masnavi, diskursus, surat, syair liris (gazal), serta lainnya. Salah satu karya besar Rumi adalah Masnawiye Masnawi yang terdiri atas enam volume puisi. Karyanya itu diakui sebagai salah satu karya puisi mistis yang paling fenomenal. Buku itu terdiri atas 10.700 bait syair. Selain itu, karya Rumi lainnya yang terkenal adalah Diwan-e Kabiratau Diwan-e Sams-e Tabrizi. Inilah buku antologi puisi yang didedikasikan untuk sang sahabat dan juga guru sufinya bernama Syamsuddin.
Inti ajaran tasawuf Rumi tercantum dalam kitab itu. Tasawuf Rumi didasarkan pada paham wahdah al wujud atau penyatuan wujud. Meski begitu, konsep wahdah al wujud Rumi berbeda dengan konsep yang dimiliki Ibnu Arabi. Bagi Rumi, Tuhan adalah wujud yang meliputi. Selain itu, karya Rumi lainnya adalah Fihi Ma Fihi. Kitab itu merekam 71 pembicaraan dan kuliah yang disampaikan Rumi dalam berbagi kesempatan. Karya itu merupakan kompilasi dari berbagai kesempatan Rumi dalam memberikan ceramah dan kuliah. Tugas pengumpulannya tentu tak dilakukan secara langsung oleh Rumi.
Kitab itu pada 1972 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh AJ Arberry sebagai Diskursus Rumi Karyanya yang lain adalah Majalese Sab’a( Tujuh Sesi) yang berisi tujuh ceramah yang disampaikan Rumi dalam tujuh momen berbeda. Selain itu, karyanya yang lain dikumpulkan dalam Maktubat(Surat). Kitab itu berisi surat-surat yang ditulis Rumi.
Dunia mengenal Rumi bukanlah sekadar seorang penyair besar. Ia juga adalah tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun 1648 M.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Maulana Jalaluddin Rumi - Samudera Spiritual Zaman"
Post a Comment