Wahabisme: Alhamdulillah atawa Innalillah?

Oleh Abdul Moqsith Ghazali, Peneliti Senior The Wahid Institute

Di tengah kecenderungan masyarakat Islam yang dianggap mengidap penyakit TBC (takhayyul, bid’ah, dan Khurafat), Wahabisme muncul untuk menghancurkannya. Dengan semboyan al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah (kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits) mereka berdakwah untuk mengajak umat Islam mengikuti ajaran Islam yang benar: Wahabisme.

Berpusat di Arab Saudi, Wahabisme yang didirikan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Sulaiman al-Najdi pada abad ke-18, adalah salah satu sekte berpaham keras dalam Islam. Muhammad ibn Abdul Wahab lahir di Uyaynah, termasuk daerah Najd, bagian timur Kerajaan Saudi Arabia sekarang, tahun 1111 H/1699 M dan meninggal dunia tahun 1206 H/1791 M. Ia belajar ke sejumlah guru terutama yang bermazhab Hanbali. Ayahandanya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim (qadhi) pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal.

Kelompok Wahabi mengklaim dapat mengembalikan umat Islam kepada ajaran Islam dan akidah yang murni. Mereka ingin kembali kepada al-Qur’an dalam makna yang harafiah. Al-Qur’an dianggap hanya deretan huruf yang tak berkaitan dengan konteks di sekitar. Dengan pendekatan ini, mereka menolak sejumlah tradisi (al-‘urf) yang tumbuh subur dalam masyarakat. Semua keadaan ingin dikembalikan pada keadaan zaman Nabi Muhammad. Mereka tak setuju rasionalisme yang berkembang dalam filsafat Islam. Demi literalisme al-Qur’an, Ushul Fikih mereka acuhkan.

Literalisme kaum Wahabi terus mengungkung mereka. Wahabisme menghendaki Islam yang “murni” dan “asli”—tentu dalam pengertian mereka. Dengan semangat purifikasi ajaran Islam, mereka menampik sejarah. Wahabisme menyeleksi kemodernan. Islam dalam pengertian Wahabisme tak boleh dijamah tangan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya, tak aneh jika tahun 1920-an, Wahabisme mengharamkan telepon dan radio masuk Mekah. Akibatnya, pemurnian berujung di jurang kegagalan. Wahabisme tak dikehendaki umat Islam. Sebagian ulama Sunni tak menghendaki jika Wahabisme dianggap menjadi bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kakak kandung Muhammad ibn Abdul Wahab sendiri, Sulaiman ibn Abdul Wahab, menolak keras ideologi Wahabisme.

Wahabisme sebenarnya tak punya teologi yang unik. Ia hanya mendramatisasi doktrin-doktrin lama yang cenderung kaku dan rigid. Sebagaimana umumnya umat Islam lain, Wahabisme mendasarkan ajaran dan doktrinnya pada tauhid. Jika Mu’tazilah mengkampanyekan tauhid, itu juga yang dilakukan Wahabisme. Lalu ada apa dengan konsep tauhid Wahabisme? Sejumlah pihak menilai bahwa tauhid Wahabisme adalah tauhid ekstrem. Dengan konsep tauhidnya, Wahabisme mudah mengirimkan vonis kafir kepada kelompok-kelompok Islam yang berbeda tafsir dengan dirinya. Mereka tak menyetujui tawassul, ziarah kubur, tradisi tahlil, dan lain-lain. Ujungnya adalah penghalalan darah orang lain untuk ditumpahkan. Walau tak mendaku sebagai pelanjut Kelompok Khawarij, Wahabisme memiliki kesamaan gerakan: menyukai kekerasan. Alkisah, makam Zaid al-Khaththab—saudara kandung Sahabat Umar ibn Khaththab—pernah dihancurkan Kelompok Wahabi. Tahun 1802, mereka menyerang Karbala.

Wahabisme kini tumbuh di Indonesia. Sejumlah ma’had atau pesantren yang mengusung ideologi Wahabisme bermunculan. Seorang teman yang sedang meriset Wahabisme di Indonesia mencatat tak kurang dari empat belas pesantren di Indonesia yang menyebarkan doktrin Wahabisme. Dibanding data statistik pesantren di Indonesia yang ribuan jumlahnya, angka empat belas memang kecil. Tapi fenomena penyebaran doktrin Wahabisme ini sudah sangat merisaukan. Atas keadaan ini, sebagian mengucapkan Alhamdulillah, dan sebagian yang lain berkata Innalillah. Wallahu A’lam bis Shawab.

Postingan terkait:

3 Tanggapan untuk "Wahabisme: Alhamdulillah atawa Innalillah?"

  1. Mengenai golongan islam yang mana yang paling benar dalam mengimani agama islam
    nya, mari kita belajar dari sejarah umat umat terdahulu yang diceritakan di
    dalam Al Quran.

    Surah Yunus (10)
    Ayat 36....Kebanyakan dari kalangan manusia hanya bersandarkan kepada andaian
    semata. Yang nyata, andaian tidak dapat menggantikan yang haq. Sesungguhnya
    Allah Maha Tahu apa yang mereka lakukan.

    Ayat 37....Dan Quran ini tidak bisa diciptakan selain oleh Allah, dimana ia
    mengesahkan apa apa yang sebelumnya dan menjelaskan apa apa yang telah
    ditetapkan untuk manusia. Padanya tiada keraguan dari Tuhan sakelian alam.

    Dari ceriita2 umat umat terdahulu itu, kita akan dapati bahawa golongan
    mayoritas nya cenderung kpd penyimpangan satelah setiap kali Nabi yg di turunkan
    Allah itu wafat. Penyesatan atau penyimpangan itu akan mula terjadi paling tidak
    sekitar 50 tahun kemudian satelah wafat nya para nabi2 mereka. Sejarah
    penyesesatan umat terdahulu itu seakan akan satu hal yg lumrah. Penyimpangan
    dari landasan yg telah ditetapkan oleh para Nabi2 Allah itu pasti terjadi.

    Saya percaya umat Nabi Muhammaad juga tidak terkecuali. Nah sekarang umat Nabi
    Muhammad ini sudah 1400 tahun lebih. Apakah kita yakin kita tidak saperti umat
    umat yang terdahulu itu yg cenderung kpd penyimpangan? Apa istimewa nya kita,
    umat Nabi Muhd.ini? Tidak ada keistimewaan nya dan tak ada bezanya. Saya yakin
    kita jugak sama saperti umat terdahulu itu yg cenderung kpd penyesesatan dan
    penyimpangan. Nah. Sekarang kalau kita kaji dari segi mana nya kesesatan
    golongan mayoritas umat Mohammad ini kita akan dapati bahawa penyesesatan
    golongan mayoritas adalah dalam mengimani kpd apa yg di sebut Hadis dan Sunnah
    Nabi. Baik mereka yg mengaku Ahli Sunnah Wal Jamaah, Baik mereka yg mengaku
    Ahlul Bait (Golongan Syiah). Baik mereka yg mengaku Wahabi. Ahmadiyyah dan saterus nya. Rata rata golongan2 ini yg juga menjadi golongan mayoritas umat islam ini tidak
    lepas dari taasubnya kpd ulama2 mereka atau imam2 mereka selain dari Hadis dan
    Sunnah Nabi itu. Kenapa Hadis & Sunnah? Karena Hadis dan Sunnah ini tidak ada pada waktu
    sekitar 100 tahun satelah wafat nya nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada yg nama nya
    Bukhari-Muslim dan saterus nya. Tidak ada Iman Empat (Shafii, Maliki, Hanbali
    dan Hanafi). Unsur2 dari kitab2 ini dan pendapat ulama2 ini hanya berdasarkan
    andaian semata.

    Mahukah kita ambil iktibar dan pelajaran dari umat umat terdahulu yg di
    ceritakan kpd kita melalui Al Quran.? Saya yakin tidak ramai yg akan mengambil
    iktibar dan pelajaran dari hakikat ini sebagaimana juga tidak ramai dari umat yg
    terdahulu. Tulisan ini hanya untuk mereka yang mahu memikirkan.

    Salam…..

    ReplyDelete
  2. anda tak akan beribadah secara bener kalau tak kenal fiqih, anda tak akan tahu posisi sujud yang benar itu seperti apa, tuma'ninah itu selama berapa, atau pertanyaan-pertanyaan fiqih ibadah lain tanpa anda merujuk pada para pendapat para imam mazhab fiqih. anda tak akan menemukan penjelasan lebih mendetail ttg hal2 tersebut dg bekal cuma alquran dan alhadist

    fiqih itu tak dibuat oleh nabi, melainkan oleh para ulama pewarisnya. banyak yang melarang kami mengikuti salah satu pendapat imam mazhab, tapi mereka serta merta membela dan ikut apa yg dikatakan oleh ibn baz, albany dkk tanpa mau mempertimbangkan ulama pendahulunya.

    umat yang berfikir cerdas akan menyerap semua pendapat yg ada, dan mengambil salah satunya sebagai pijakan tanpa menyalahkan pendapat lain jikalau yang lain itu masih punya dasar yg sama

    ReplyDelete
  3. Sila rujuk ke website Kassim Ahmad berkenaan dgn masaalah ini. Artikel nya bertajuk : "Hadith: Satu Penilaian Semula" . Semoga bermanfaaat..

    ReplyDelete