Kadilangu, NU Online
Orang yang pernah berziarah ke makan Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak pasti tak menyangka jika kawasan sekitar makam bukankah kampung santri. Baru banyak orang orang santri setelah adanya sebuah pondok pesantren didirikan KH Muhsin Saerozi pada 1994.
Berpuluh-puluh tahun Kadilangu justru terkenal sebagai kawasan wingit. Banyak hantu maupun jin yang mengganggu. Banyak cerita angker dialami orang selama itu. Termasuk oleh orang yang berniat dakwah agama.
Putra KH Muhsin Saerozi, Gus Luqman Hakim menurutkan, dia banyak mendapat cerita dari orang-orang Kadilangu, banyak orang yang berniat mengembangkan Islam di daerah tersebut tak bertahan lama.
Menurut cerita para tetua, setiap kali ada orang berniat mendirikan madrasah atau membuat jamaah pengajian, ada saja gangguan yang tak kasat mata. Penggagasnya tak kuat mendapat gangguan sehingga keluar dari Kadilangu.
Walhasil, syiar Islam kurang semarak di situ. Ditambah kondisi kemiskinan yang mendera, masyarakat Kadilangu jadi jauh dari bimbingan ulama. Praktis warisan dakwah Sunan Kalijaga kurang terasa dalam waktu sekian lama.
“Memang agak aneh dulu. Di dekat makam wali malah kurang bersuasana santri. Tak ada pondok pesantren atau madrasah,” turur Gus Luqman.
Sebenarnya tak kurang-kurang yang mencoba menetralisir keangkeran itu. Silih berganti orang bertirakat untuk mengusir aroma wingit di Kadilangu. Namun gagal satu per satu.
Hingga akhirnya, salah satu putra asli Kadilangu yang mondok di Ponpes Darussalam Blokagung Banyuwangi diperintah gurunya, KH Mukhtar Syafa’at untuk mengabdikan ilmu di kampung halamannya. Dialah KH Muhsin Saerozi yang kala itu masih muda usia.
Masih dalam bimbingan gurunya, Muhsin muda mengadakan pengajian kecil-kecilan di rumah-rumah warga. Itu dimulai pada 1975. Sambil mengajar ngaji, dia berjualan gerabah dan baju rombeng.
Dari berdagang itu Muhsin berhasil menngumpulkan uang dan bisa membeli sebidang tanah pada 1980. Letaknya tak jauh dari makam Sunan Kalijaga. Kurang lebih 750 meter.
Karena saat itu tak ada kiai di Kadilangu, Muhsin pun lantas dipanggil kiai oleh warga. Sedikit demi sedikit jamaah pengajiannya bertambah. Atas sokongan jamaahnya, Kiai Muhsin berhasil membangun langgar. Sebuah musholla kecil berdinding gedhek.
Demi bisa selalu mengimami sholat di mushola itu, Muhsin mengontrak rumah untuk tempat tinggal diri dan keluarganya. Tentu saja, selama berdakwah itu, dia juga mendapat gangguan sebagaimana dialami orang-orang lain.
Kata Gus Luqman, mungkin karena abahnya “dekat” dengan Sunan Kalijaga, aneka gangguan itu bisa berhasil dielakkan. Setelah bisa terhindar dari masalah tersebut, semangat Kiai Muhsin bertambah besar.
Diapun sowan ke gurunya di Banyuwangi, untuk memohon bimbingan lebih lanjut. Dan memang kunjungan ke ndalem gurunya itu sering dilakukan, sebagaimana tradisi santri. Minimal setahun sekali sewaktu lebaran atau saat haflah milad (peringatan ulang tahun) pondok tempatnya menimba ilmu.
Belum ada tanggapan untuk "Pesantren Nahdlotul Fata Demak, Pembebas dari Kawasan Wingit"
Post a Comment