Jakarta, NU Online
Bagi para aktivis di masa Orde Baru, Presiden Soeharto dianggap sebagai penguasa yang harus segera digulingkan. Masing-masing dalam posisi berhadapan. Kalau ada aktivis yang mau bertemu dengan Soeharto, ia segera dihujat karena dianggap telah mau diajak bekerjasama. Kalangan NU yang dipimpin Gus Dur juga menjaga sikap yang sama, apalagi NU termasuk kelompok yang "teraniaya" sehingga wajar jika bersikap demikian.
Suatu ketika Pak Harto sakit. Keluarga, kerabat, sahabat dan para pejabatnya pun berbondong-bondong menengoknya. Para aktivis tetap menjaga jarak.
H Ahmad Bagdja, sekjen PBNU era kepemimpinan Gus Dur menyarankan kepadanya untuk segera menjenguk Presiden.
“Meskipun bertentangan, tapi ya pantes-pantesnya Gus Dur datang. Kalau Gus Dur yang datang, ngak ada yang nyalah-nyalahin,” katanya.
Awalnya Gus Dur menolak datang. Salah satu saudara lelaki Gus Dur juga sampai meneleponnya agar kakaknya tersebut tidak bertemu dengan penguasa Orde Baru ini.
Beberapa hari kemudian, ketika sedang di Medan, ia membaca koran yang menginformasikan pertemuan antara Gus Dur dan Pak Harto.
Segera saja sesampai di Jakarta, ia bertanya kepada Gus Dur mengapa jadi ketemu dengan Soeharto, tapi jawaban Gus Dur enteng saja.
“Ente kan belum pernah wirid 10.000 di Masjidil Haram,” katanya singkat.
“Saya ngak tanya apa yang diamalkan, keburu banyak orang datang. Sampai beliau wafat pun saya ngak pernah tanya,” tandas Bagdja.
Dalam tradisi NU, terdapat berbagai jenis wirid dan amalan, yang jika dibaca dalam jumlah tertentu dan pada waktu tertentu, dapat menimbulkan fadhilah sesuai yang dimaksudkan dalam doa-doa tersebut.
Sayangnya, hingga sekarang, wirid ini masih menjadi rahasia, apa bacaannya, dan apa fadhilahnya. Entah jika Gus Dur mengijazahkan kepada seseorang untuk terus mengamalkannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Gus Dur dan Wirid 10.000 Kali di Masjidil Haram"
Post a Comment