Hampir keseluruhan pengembangan kebudayaan, terutama pendidikan dijalankan oleh pesantren. Pesantren merupakan kelanjutan sistem pendidikan lama yang telah berkembang sejak masa Hindu dan Budha.
Demikian dikatakan budayawan Abdul Mun’im DZ dalam Lokakarya Pengembangan Seni Budaya dan Perfilman yang diselenggarakan oleh Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Kementerian Budpar (6/4) di Hotel Sari Pan Pacifik Jakarta.
Pembicara lain budayawan Bisri Effendi dan Acep Zamnzam Noor, penyair dari pesantren Cipasung, tasikmalaya, Jawa Barat. Lokakarya dihadiri oleh para pengggiat seni budaya di Jakarta.
“Pemerintah kolonial dengan system pendidikan modern itu dating belakangan, yaitu ketika pesantren sudah mapan dan menelurkan banyak karya kebudayaan,” jelas Mun’im yang pernah menjadi peneliti di LP3ES Jakarta ini.
Mun’im mengatakan, pesantren satu-satunya lembaga pendidikan adalah tempat semua kaum golongan, baik agamawan ataupun bangsawan, menjalani proses pendidikan.
“Pesantren itu pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kesenian, baik yang dilakukan oleh para kiai, maupun oleh para santri serta masyarakat yang berda di sekitar pesantren. Bisa dipahami kalau kitab-kitab, serat serta kakawin muncul dari lingungan semacam ini,” terangnya.
Salah satu aspek kebudayaan pesantren, kata Mun’im, adalah seni sastra. “Simak saja kitab Centhini. Serat atau kitab ini menggambarkan dengan apik pengembaraan Syekh Amongraga dari pesantren satu ke pesantren lainnya mencari kesempurnaan hidup, mencari jalan Tuhan, pergulatan sesama manusia,” ujar Mun’im
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Pesantren Sebagai Pusat Kebudayaan"
Post a Comment