Akar dan Sejarah Pesantren
Saya ingin mengawali tulisan sederhana ini dengan menyuguhkan akar dan sejarah awal munculnya pesantren di Indonesia. Penting diketahui, awal munculnya pesantren ini tidak bisa lepas daripada ketika awal masuknya Islam ke Indonesia yakni antara abad ke-11 dan 14. Pada abad itulah merupakan tonggak sejarah baru sebagai bagian dari proses paling penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Zamakhsyari Dhofier (2011: 27), penulis buku Tradisi Pesantren bahkan lebih jauh berpendapat bahwa masa transisi dari peradaban Hindu Budha Majapahit ke masa periode pembangunan Peradaban Melayu Nusantara, merupakan periode penting dalam sejarah bangsa Indonesia yang menentukan arah pembangunan peradaban Indonesia modern memasuki periode millennium ketiga, namun sayangnya banyak sejarawan yang ingin menghilangkan masa periode yang penting tersebut.
Pernyataan di atas kiranya dapat menunjukkan bahwa, tidaklah berlebihan jika pesantren merupakan lembaga pendidikan asli produk Indonesia yang punya andil besar untuk bangsa ini. Cak Nur—sapaan akrab alm. Nurcholish Madjid (1997;3), yang juga salah seorang lulusan pesantren—secara mengagumkan mengemukakan bahwa pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Pesantren tidak hanya identik dengan keislaman, melainkan juga mengandung makna keaslian Indonesia.
Secara fisik, asal muasal berdirinya pesantren ini tidaklah begitu rumit. Pesantren berdiri melalui usaha seorang Kiai yang kemudian bertekad mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Mula-mula sang Kiai membabak lahan kosong, lalu didirikanlah musholla sederhana dari bilik untuk keperluan ibadah dan mengaji masyarakat. Pesantren dibangun di desa bukan di kota, bahkan sudah menjadi keumuman jika biasanya pesantren didirikan jauh dari keramaian, di tempat yang terpencil. Inisiatif mulia ini adalah bukti dari keterpanggilan hati Kiai untuk mencerdaskan masyarakat desa dari segala kebodohan dan penjajahan.
Dari tahun ke tahun meskipun kerap tumbuh kembang dengan merangkak dan penuh keprihatinan, pesantren dapat terus mempertahankan keberadaan pendidikannya hingga abad modern, dewasa ini. Kalau tidak keliru, hingga saat ini pesantren yang telah berdiri di Indonesia tidak kurang dari 15.000 buah atau kemungkinan besar lebih.
Dari fakta historis yang telah saya kemukakan di atas, mestinya kita terketuk nuraninya untuk kemudian bagaimana bisa melestarikan dan mengembangkan warisan berharga bangsa Indonesia yakni pesantren. Ini adalah konsekuensi wajar sebagai bentuk rasa terima kasih kita kepada para pendahulu dalam membumikan pendidikan di Indonesia. Apalagi jika kita korelasi dan komparasikan dengan realitas pendidikan formal di Indonesia saat ini, wajah apa yang terlihat; prestasi atau degradasi?
Prinsip Istiqamah Pada Pendidikan Pesantren
Istiqamah atau keajegan adalah prinsip utama yang kukuh dipegang pesantren dalam melangsungkan proses pendidikannya. Sekurangnya, saya menemukan dua keajegan pesantren dalam menjaga komitmen istiqamah dalam pendidikannya. Pertama, istiqamah dalam melangsungkan pendidikan yang berbasis akhlakul karimah. Salah satu buktinya, seperti tertuang dalam kitab kuning; Ta’lim Muta’alim karangan Syaikh Az-Zarnuji, kitab ini menyuguhkan segala sesuatu yang berkaitan dengan akhlakul karimah dalam pendidikan (menuntut ilmu). Dan selain itu juga diilhami oleh dawuh Nabi Saw, “Innama buitstu liutammima makarimal akhlak”. (Sesungguhnya aku (Muhammad) di utus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur. Proses pendidikan akhlakul karimah ini dipraktikkan 24 jam di pesantren.
Bagaimana relasi dan interaksi santri dengan Kianya, sebaya, ataupun dengan masyarakat sekitar pesantren. Ia (akhlakul karimah) la yuatstsir fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat (tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun), ta’lu ‘ala al-Zaman wa al-Tarikh (melintasi batas ruang dan waktu) dan ‘ala al-Insan ayyan kana wa anna kana (melekat dan berlaku bagi setiap manusia dulu dan kapan pun berada). Imam al-Ghazali (450 H-1111 M) salah seorang pengarang kitab Ihya ‘Ulumuddin menyebut bahwa akhlak merupakan sifat dan gambaran jiwa (hai’ah al-nafs wa shuratuha al-bathinah).
Kedua, istiqamah dalam melestarikan tradisi. Ada banyak ragam tradisi yang dilestarikan pesantren hingga saat ini, baik berupa tradisi berupa materi mapun non-materi. Yang paling agung adan berharga adalah kitab kuning (kutub al-turats). Kitab kuning adalah lembaran-lembaran kertas berwarna kuning berbahasa Arab “gundul”, ia adalah warisan ulama-ulama lampau. Kitab kuning ini dipelajari biasanya dengan sistem bandungan; Kiai atau Ustadz membacakan dan menjelaskan kitab kuning, lalu para santri memberikan makna. Dan secara sorogan; pembelajaran intens antara individu santri dengan Kiai atau Ustadnya (mengaji satu-satu).
Di balik prinsip istiqamah pesantren itu, sebetulnya bisa kita renungkan dalam adagium yang kuat diyakini oleh pesantren, “al-Muhafadhatu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah”. (Menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Atau senada dengan adaium itu, “Kaifa nataqaddam duuna ‘an nata khalla ‘an al-Turats”. (Bagaimana kita bisa maju tanpa membongkar tradisi).
Menengok Realitas Pendidikan Kita Sekarang
Rasa-rasanya muak sekali kalau kita melihat realitas pendidikan kita saat ini. Berbagai media informasi-publik; elektronik maupun cetak, tidak henti-hentinya memberitakan kebobrokan dunia pendidikan Indonesia. Kesemrawutan pendidikan yang baru-baru ini marak diberitakan tentang tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, seks di luar nikah, dan lain sebagainya. Lembaga pendidikan yang pada awalnya berfungsi sebagai “pabrik” ilmu dan akhlakul karimah, kini sudah menjadi “pabrik” perilaku tercela. Dalam konteks yang lebih luas, realitas kehidupan pada dimensi lain pun marak menunjukkan wajah-wajah rusak; korupsi dimana-mana, kerusuhan antar warga bergejolak, kekerasan atas nama agama, dan lain-lain semakin membuktikan bahwa pendidikan bangsa kita sedang dalam rapot merah.
Padahal, jelas-jelas tujuan pendidikan yang tertuang dalam pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)—adalah bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, secara bertanggung jawab.
Tujuan mulia itu seakan sangat jauh dari terwujudkan. Karena berdasarkan hasil survei PERC (Political and Economic Risk Consultancy) dan UNDP (United Natios Development Program) menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia menempati posisi terburuk di kawasan Asia (dari 12 negara yang disurvei oleh PERC). Sementara berdasarkan UNDP tahun 2004 dan 2005 menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia pun tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan 111 dari 175 negara; sedangkan tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Sungguh ironis dan menyakitkan, bukan?.
Selamatkan Warisan Pesantren
Kalau batik atau lainnya sudah diresmikan UNESCO menjadi warisan budaya Indonesia. Maka pesantren juga semestinya begitu bahkan seharusnya lebih dahulu dan lebih dari itu. Akan tetapi faktanya? Sampai sekarang saya belum tahu kabar kalau pesantren telah diresmikan UNESCO menjadi salah satu warisan bangsa dan dunia. Entah logis dan sesuai atau tidak, yang jelas ini semata-mata pesantren telah membuktikan kiprahnya untuk bangsa, bahkan dunia. Jangan sampai kita baru merasa geram ketika warisan bangsa lebih dahulu diakui oleh pihak lain.
Oleh sebab itu, izinkan saya untuk memberikan rekomendasi kepada banyak pihak, terutama pemerintah agar pesantren—minimalnya—dapat diperhatikan. Pertama, selamatkan pesantren. Kurikulum pendidikan karakter yang digulirkan sejak Mei 2010 oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) adalah tidak lain konsep pendidikan akhlakul karimah yang sudah sejak lama diilhami pesantren. Maka, menjadi wajar jika pesantren merupakan pelopor pertama dan utama untuk ranah itu. Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah sebaiknya bisa bercermin kepada pesantren. Buktinya, mana ada santri pesantren yang tawuran? Pernah dengar santri pesantren mendemo Kiainya? Atau adakah santri pesantren yang minum-minuman keras, seks bebas? Dan pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya. Saya tegaskan jawabannya tidak ada.
Kedua, mengambil kebijakan tegas untuk secepatnya melakukan transformasi pendidikan. Terutama berkaitan dengan pendidikan yang benar-benar punya karakter khas, yang mencerminkan karakter bangsanya. Lagi-lagi karakter khas itu ada dan dipunyai di pesantren. Sebagaimana telah saya jelaskan di atas, pesantren punya pandangan ke belakang sebagai komitmen meneladani ulama-ulama salaf al-shalih. Sekaligus punya pandangan ke depan agar selaras dengan zaman modern ini. Menjadikan para peserta didik yang punya akhlakul karimah, pandai, berjiwa entrepreneurship, dan cinta Allah serta Rasul-Nya.
Alm. KH Abdurrahman Wahid—mantan presiden RI, yang juga salah seorang lulusan pesantren, berpendapat bahwa pesantren adalah sub kultur. Ini bisa dilihat dari wataknya yang mandiri, yaitu: 1. Pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, 2. Kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan yang diambil dari berbagai abad, (dalam khazanah pesantren dikenal dengan kitab klasik atau kitab kuning) dan 3. Sistem nilai yang dianut.
Karena, secara substansial, pesantren itu tidak terlepas dari al-mas’uliyah al-arba’ah (empat kapabilitas), yaitu pertama, mas’uliyah aldiniyah yang diimplementasikan dalam kiat pesantren untuk memperjuangkan da’wah Islamiyah yang notabene dia berarti sebagai tumpuan harapan pemecahan semua masail al-diniyah. Kedua, al-mas’uliyah al-tsaqafiyah yang lebih meningkatkan kualitas pembelajaran dan pendidikan umat. Ketiga, al-mas’uliyyah al-amaliyyah yang lebih mengutamakan pada realisasi hukum Islam/syariat dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial-masyarakat. Keempat, al-mas’uliyyah al-qudwah yang lebih memusatkan pada perilaku akhlak al-karimah. (Said Aqil Siradj: 2007: 51).
Sebelum saya mengakhiri tulisan sederhana ini, saya ingin menyebutkan beberapa dari sekian banyak sosok lulusan pesantren yang kiprahnya luar biasa baik di dalam maupun di luar negeri. Adalah alm. KH Abdurrhman Wahid (Gus Dur) seorang lulusan pesantren yang pernah menjadi presiden RI ke-4. KH A Mustofa Bisri seorang budayawan-sastrawan, ahli lukis, dan lain-lain bereputasi internasional yang sekarang menjadi pengasuh pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, beliau menuntut ilmu lama di pesantren. Berikutnya, Prof Dr Mahfud MD yang sekarang menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK) adalah seorang lulusan pesantren yang dikenal publik sebagai sosok pejabat yang jujur dan bersih. Dr KH Said Aqiel Siradj, MA salah seorang lulusan pesantren yang sekarang menjadi ketua Wali Amanah di Universitas Indonesia (UI) dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Selanjutnya Khofifah Indar Parawansa sosok perempuan hebat lulusan pesantren, mantan menteri pemberdayaan perempuan. Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA, Hj Nyai Shinta Nuriyah Wahid, dan sederet nama lainnya.
Walhasil, saya ingin mengakhiri tulisan sederhana ini dengan keyakinan, jika kita menyelamatkan pesantren berarti kita menyelamatkan pendidikan akhlakul karimah dan tradisi yang kini semakin memudar, sama dengan menyelamatkan ilmu Allah, juga berarti kita menyelamatkan bangsa, dan kita menyelamatkan regenerasi bangsa dari segala kejahatan dan akhlakul madzmumah (tercela). Demikian. Wallahu’alam bi al-Shawab.
* Penulis adalah khadim al-Ma’had di Pesantren Raudlatuth Thalibin, Babakan, Ciwaringin, Cirebon
Sumber: NU Online
Belum ada tanggapan untuk "Pesantren, Warisan Pendidikan Akhlakul Karimah Asli Indonesia"
Post a Comment