Sastrawan Ahmad Tohari bercerita, pada tahun 1981 saat pertama kali tulisannya dimuat di sebuah media massa, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memanggilnya. Ia yang saat itu mengira akan menerima pujian dari Gus Dur justru malah mendapatkan kritikan tajam.
“Tapi setelah mendapat kritikan tajam itu menjadi motivasi saya, dan setelah itu saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk,” ujarnya di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (16/9). Sejujurnya ia katakan, guru menulisnya adalah Gus Dur.
Ahmad Tohari menjadi pembicara dalam Bedah Buku “Maha Cinta”. Ia menyampaikan kritik tentang novel Aguk Irawan MN. Menurutnya ketika Marwa masih hadir di dalam hati Imron, maka itu akan menjadi hijab atau penghalang bagi Sang Maha Cinta. Karena ketika Imron ditawari untuk menikahi Laila yang lebih cantik dari Marwa, Imron menolaknya.
“Jadi seharusnya Imron tidak menolak ketika diminta untuk menikahi Laila. Seperti ketika Rasulullah diminta untuk menikahi Aisyah, Rasulullah tunduk pada Sang Maha Cinta. Meski Rasulullah masih mencintai Khadijah,” ungkapnya.
Ia meminta penulisnya untuk menulis buku kedua sebagai lanjutan kisah Imron itu. “Tulislah buku yang kedua supaya tuntas betul kebenaran Sang Maha Cintanya,” tandas Ahmad Tohari.
Sastrawan asal Banyumas itu menambahkan, cinta adalah hal yang paling ditakutinya karena dianggap sakral. Oleh karena itu ia menulis novel cinta tapi tanpa satu kata cinta pun di dalamnya, yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.
Selain dihadiri oleh Ahmad Tohari dan Aguk Irawan MN sebagai pembicara, bedah buku itu juga dihadiri oleh Kiai Kuswaidi Syafi’i atau Cak Kus, kritikus sastra sekaligus pengasuh Pesantren Maulana Rumi Bantul.
Sumber: NU Online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Ahmad Tohari Berguru Kepada Gus Dur"
Post a Comment