Bandung Barat,
Media massa memainkan peranan penting dalam kehidupan umat manusia. Bukan hanya pada kehidupan sekarang. Jauh di masa lalu, literatur sudah memiliki peranan yang sangat menentukan gerak kehidupan politik, sosial dan kebudayaan.
"Karena itu aktivis pergerakan harus mengenal dekat media massa. Harus bisa juga memainkan peranan sebagai jurnalis, syukur-syukur bisa membuat media sendiri untuk kepentingan pergerakan. Lebih hebat lagi kalau nanti memiliki media besar," ujar Faiz Manshur, inisiator Gerakan Kewargaan (Civic-Islam) di hadapan peserta Seminar Nasional: Pelatihan Kader Lanjut Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) se-Jabar Barat, Jumat 4/12/2015 di Balai Diklat Lembang Kabupaen Bandung Barat.
Menurut Faiz, tradisi menulis harus diperkuat di kalangan aktivis pergerakan. Sebab jika aktivis tidak mampu menulis itu akan menyiksa pikiran karena dalam urusan pergerakan sosial atau politik akan selalu butuh media massa sebagai alat pergerakan.
"Sejarah pergerakan semenjak zaman nabi-nabi hingga masa nation-state berlanjut era demokrasi sekarang ini selalu lekat dengan literatur. Berdirinya Indonesia juga tak lepas dari peran jurnalis seperti Mas Marcokartodikromo, Tirto Adhi Soerjo, dan lain sebagainya. Bahkan organisasi NU bisa tampil sebagai kekuatan civil-society juga karena peran para jurnalis," ujarnya memotivasi.
Pada kelompok NU, Faiz mengisahkan bahwa salah seorang jurnalis seperti Mahbub Djunaidi sangat menonjol dalam memajukan NU. Sekalipun saat itu media massa hanya dibaca segelintir orang, tapi kecermelangan pemikiran Mahbub, menjadikan NU memiliki wibawa yang besar di pentas nasional. Demikian juga apa yang dilakukan Gus Dur atau Gus Mus dengan karya-karyanya terbukti mampu menjadikan NU menjadi garda depan gerakan intelektual dan yang lebih penting lagi mereka mampu mendorong generasi selanjutnya tertarik dalam urusan jurnalistik. "Jadi kalau ada aktivis NU tidak suka menulis, barangkali itu kader yang tidak ingin NU maju," ujarnya.
Aktivis dan Kambing
Faiz Manshur juga menyarankan agar para aktivis jangan sebatas jadi aktivisme yang hobi bergiat organisasi tapi melupakan tanggung jawab intelektual dengan menggumuli bacaan. Hobi membaca pun tidak menjadikan syarat untuk menjadi penulis yang mahir lebih-lebih jika aktivis itu tidak mau membaca karya bermutu.
"Pasti lebih repot. Jangan sembarang membaca karena sekarang bacaan banyak yang sekadar informasi instan yang tidak memiliki gizi untuk perbaikan kualitas pemikiran," terangnya.
Terkait dengan urusan membaca ini secara khusus, Faiz Manshur, menekankan kepada para aktivis mahasiswa karena bacaan dan karya tulis itulah yang akan menjadi nilai lebih dirinya sebagai sosok di masyarakat.
"Ciri-ciri aktivis yang baik itu bangun pagi terus mandi. Habis mandi tengok kandang kambing. Lalu lihatlah di kandang itu. Ada buku enggak? Kalau tidak, maka jangan sampai kamarmu tidak ada buku. Sebab yang membedakan mahasiswa dengan kambing itu buku," ujarnya disambut tawa peserta. (Yus Makmun/Abdullah Alawi)
Sumber: NU Online
Beranda » berita NU »
berita pesantren terbaru »
berita santri »
kabar santri »
Keislaman »
kenuan »
Nadhlatul Ulama »
NU
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Pembeda Mahasiswa dan Kambing Itu Buku"
Post a Comment